Jl. AUP No. 3 Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12520,
Provinsi DKI Jakarta

(021) 7824 669

ID EN
Logo

Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan

7

INTEGRASI PADI LAHAN KERING DAN SAPI

Lahan kering yang sangat potensial untuk produksi pangan, ternyata juga menyimpan tantangan untuk dapat dikelola secara berkelanjutan (sustainable). Ketersediaan air yang sangat tergantung pada air hujan dan penurunan kandungan bahan organik akibat pelapukan fisika (disintegrasi) akibat suhu yang tinggi dan pelapukan kimia (dekomposisi) akibat curah hujan yang tinggi pada periode tertentu, sehingga kandungan bahan organik tanah cepat menurun. Menyediakan bahan organik dalam jumlah, mutu dan kontinyuitas yang berlanjut secara in situ menjadi salah satu kunci sukses pengelolaan bahan organik untuk produksi pangan berkelanjutan. Integrasi sapi pada budidaya lahan kering merupakan kunci penting dalam membangun pertanian lahan kering berkelanjutan.


Sapi dan Padi Lahan Kering

Pengembangan sapi terintegrasi dengan budidaya padi lahan kering, memiliki manfaat yang luas. Petani yang membudidayakan dapat memanfaatkan jerami sisa tanaman padi untuk sumber pakan. Sebaliknya kotoran sapi dan urine dapat digunakan untuk penyubur tanah, baik dalam menyediakan bahan organik tanah untuk membentuk agregat tanah dan mensuplai hara bagi tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menunjukkan bahwa lahan padi satu hektar mampu menampung sapi 1-1,5 ekor. Pendekatan ini memungkinkan terjadi produksi dan daur ulang bahan organik menjadi lebih baik, karena transformasi dari hijauan jerami menjadi kotoran sapi yang lebih cepat dan lebih mudah diserap tanah. Sapi bisa mendapatkan pertambahan berat harian sekitar 0,6-0,7 kilogram per hari, sehingga dapat menghasilkan tabungan bagi petani lahan kering yang miskin dan penuh keterbatasan. Sapi juga bisa bermanfaat bagi tabungan petani untuk keperluan besar keluarganya seperti keperluan sekolah, menikahkan anak, dan pembiayaan besar lainnya. Produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan jika pasokan kotoran sapi bisa berlanjut, selain dapat memperbaiki struktur tanah, kemampuan menyimpan air tanah (water holding capacity), menyediakan hara lengkap bagi tanaman. Apabila sapi bisa digemukkan selama empat bulan (120 hari) dengan laju pertumbuhan berat 0,6-0,7 kilogram per hari, maka ada penambahan daging 72-84 kilogram. Jika harga daging sapi 60 ribu per kilogram sapi hidup, maka selama empat bulan petani bisa mengantongi uang antara Rp 4.320.000 sampai Rp 5.040.000. Jika petani dapat mengelola sapi antara dua ekor, maka petani bisa memperoleh penghasilan Rp 8.640.000-10.080.000 selama empat bulan. Tambahan pendapatan yang sangat besar bagi petani miskin untuk memperbaiki taraf hidupnya. Demikian juga jika petani bisa mengelola sampai tiga ekor, maka pendapatan mereka bisa terdongkrak dengan baik. Besaran pendapatan itu bisa terus ditingkatkan, jika tersedia pakan yang cukup. Pertanyaannya, bagaimana caranya menyediakan pakan untuk meningkatkan jumlah sapi yang dapat dipelihara? Pengembangan alley cropping hijauan makanan ternak merupakan solusi fundamentalnya.


Alley Cropping Hijauan Makanan Ternak

Tanaman lamtoro gung dapat dimanfaatkan untuk tanaman alley cropping dalam rangka memompa hara dari dalam tanah dan menyimpan dalam bentuk hijau daun. Tanaman lamtoro dapat ditanam memotong lereng dalam satu atau dua baris. Antar baris dibuat bervariasi antara 5-10 meter tergantung kemiringan lahan. Untuk lahan yang miring, maka interval alley cropping bisa lebih rapat agar dapat menahan laju aliran air dan erosi. Sebaliknya untuk lahan yang datar, maka intervalnya bisa 10 meter, karena laju aliran permukaan dan erosi lebih rendah dibanding lahan yang kemiringannya terjal. Semakin terjal lahannya, maka produktivitas bahan organik yang dihasilkan lebih tinggi, sehingga mampu memperbaiki kesuburan dan produktivitas tanah. Untuk lahan yang datar, maka produksi bahan organik dapat dilakukan dengan menambah jalur alley cropping dari satu menjadi dua, sehingga produksi hijauan untuk pakan ternak dan sumber bahan organik/pupuk organik dapat ditingkatkan. 

Indonesia yang beriklim hujan tropis dengan suhu, kelembaban tinggi akan mempercepat pelapukan fisika dan kimia dari bahan organik, sehingga produksi bahan organik insitu yang dikombinasikan dengan ternak akan menjadi kombinasi ideal dalam mengelola produktivitas lahan kering berkelanjutan. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sejak tahun 2000an telah mengembangkan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) dengan jumlah sapi 33 ekor, alat pencacah, bantuan kandang, alat angkut roda tiga, sehingga petani bisa meningkatkan produktivitas lahan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Program kemudian berkembang dengan menurunkan jumlah bantuan sapi menjadi 10 ekor, dengan asumsi penerimanya menjadi lebih banyak. Sayangnya berdasarkan monitoring di lapangan, petani tidak mampu mengelola sapi dalam jumlah banyak. Maksimal 3 ekor, karena tenaga petani tercurah ke sawah dan keperluan domistik. Pemerintah perlu memikirkan bantuan program untuk produksi pakan murah dengan menggunakan bahan setempat, sehingga harga input produksi ternaknya murah dan tidak memerlukan banyak tenaga petani. Saat ini yang paling potensial adalah pemanfaatan limbah sawit yang dari sisi volume dan distribusinya hampir ada di sebagian besar propinsi se Indonesia.

Oleh: Hasnul Fajri (PMHP Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)


WhatsApp


Email


Jam Pelayanan

Hari Kerja
08:00 s/d 16:00