PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI LAHAN KERING
Menurut data BPS (2021) produktivitas padi rata rata nasional masih sangat rendah yaitu 52,26 kuintal Gabah Kering Giling (GKG)/hektar. Produktivitas yang sama pada Tahun 2020 mencapai 51,28 kuintal GKG/hektar. Program yang ada dan sumberdaya yang ada Pemerintah hanya mampu meningkatkan produktivitas 1,9% per tahun. Sementara pertambahan penduduk nasional mencapai 1,64 juta jiwa (total 273 juta jiwa) dengan indek pertanaman Tahun 2021 menurun 2,30%. Artinya, jika kondisi ini terus berlangsung, maka pemerintah akan menghalami defisit pertumbuhan pangan terhadap pertumbuhan penduduk.
Bali merupakan propinsi dengan produktivitas tertinggi nasional 58,83 kuintal GKG/hektar tumbuh 0,58% dibandingkan tahun 2020.Propinsi dengan produktivitas rata-rata tertinggi kedua (dengan mengeluarkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta) adalah Propinsi Jawa Barat (56,81 kuintal GKG/hektar. Sedangkan Propinsi dengan produktivitas rata rata terendah adalah Kalimantan Tengah 31,65 kuintal GKG/hektar, diikuti Kalimantan Barat 31,90 kuintal GKG/hektar.
Pengembangan lahan kering berkelanjutan
Berdasarkan fakta data BPS (2021), maka paling tidak ada 2 (dua) skenario yang dapat dilakukan untuk menggenjot produksi padi nasional: (a) melakukan pergantian varietas unggul padi lahan kering dan (b) meningkatkan indeks pertanaman. Berdasarkan data BPS (2019), luas lahan kering nasional mencapai 63,4 juta hektar (33,7% luas lahan Indonesia). Lahan yang sudah digunakan untuk pertanian lahan kering 8,8 juta ha, sedangkan lahan untuk pertanian lahan kering campur semak 26,3 juta hektar dan untuk perkebunan seluas 18 juta ha. Sisanya 10,3 juta hektar belum diusahakan. Jika lahan yang sudah diusahakan 53,1 juta hektar ditingkatkan rata-rata produktivitasnya 100 kilogram per hektar, maka akan ada tambahan produksi padi nasional 5,31 juta ton. Artinya apa, pengembangan padi lahan kering berbasis teknologi jauh lebih menjanjikan dibandingkan peningkatan produktivitas lahan sawah yang sejak tahun 1970 petaninya telah menerima bantuan dalam berbagai bentuk. Pertanyaannya, teknologi apa yang memungkinkan secara operasional produktivitas lahan kering dapat ditingkatkan secara berkelanjutan?
Paling tidak ada dua teknologi yang sudah proven terbukti mampu mendongkrak produksi padi lahan kering yaitu peningkatan ketersediaan air dan penggunaan benih unggul produktivitasa tinggi. Ini yang harus digarap lebih sungguh, cermat, detail dan terukur agar setiap investasi yang dikeluarkan (tenaga, waktu dan biaya) memberikan imbal hasil yang maksimal dan berkelanjutan. Negara-negara maju telah lama melirik pengembangan padi lahan kering seperti Brazil dan negara Amerika latin lainnya. Melalui tanam langsung (direct seedling) yang lahannya dioptimalkan melalui pengelolaan hara terpadu, produktivitas padi lahan kering Brasil mampu mendekati produktivitas padi irigasinya. Kata kuncinya adalah pengelolaan bahan organik sebagai sumber unsur hara lengkap berkelanjutan didukung dan lengas tanah (soil moisture) yang terus tersedia dalam kondisi optimal.
Secara simultan Brazil dengan bantuan Kerjasama CIRAD, Montpellier, Perancis mampu menghasilkan padi lahan kering dengan produktivitas mencapai 6 ton GKG per hektar. Informasi ini dapat diyakini kebenarannya, karena Indonesia sudah bisa membuktikannya langsung. Saat hutan baru dibuka, kandungan bahan organiknya sangat tinggi dan lengas tanahnya tersedia, maka produktivitas padinya mencapai 6 ton GKG/hektar. Seiring berjalannya waktu, petani tidak mengelola ketersediaan bahan organik dan lengas tanah di lapangan dengan baik. Petani membiarkan lahannya terbuka tanpa penutup tanah (mulsa), sehingga evapotranspirasi dan mineralisasi bahan organic terjadi dengan cepat. Implikasinya dalam jangka panjang, lahan kering makin kering, padat, keras, miskin hara, sehingga penetrasi akar ke dalam tanah terganggu. Kondisi ini diperburuk dengan tanah lahan kering di Indonesia didominasi oleh Podsolik Merah Kuning dengan kandungan besi dan aluminium tinggi yang meracuni perakaran. Jika bahan organik terkelola dan air tersedia, maka efek aluminium dan besi dapat dinetralisir. Keterbatasan pengetahuan dan minimnya dukungan pemerintah dalam pengembangan lahan kering, menyebabkan cepat dan pasti produktivitas padi lahan kering merosot tajam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan juga telah mampu menghasilkan padi gogo dengan produktivitas lahan kering 6 ton/hektar jika kondisi lahan dan airnya optimal.
Melalui ilustrasi tersebut, maka pilihan pengembangan padi lahan kering harusnya menjadi prioritas utama dibandingkan lahan sawah yang sudah mengalami kejenuhan (levelling off), sedangkan senjang produktivitas dan Indeks Pertanaman padi lahan kering masih terbuka. Selain itu Pemerintah juga harus berfikir lebih jernih bahwa selain potensi keberhasilannya besar, pengembangan padi lahan kering juga dalam rangka memenuhi rasa keadilan sesama anak bangsa.
Oleh: Marwanti, SP (PMPH Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)