PENURUNAN VOLUME PUPUK BERSUBSIDI TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI LAHAN KERING
Sejak tahun 2017 sampai dengan Tahun 2022 besaran anggaran pupuk bersubsidi berkisar 25 trilyun dengan kuantum mencapai 9,5 juta ton. Volume pupuk tersebut digunakan untuk 72 komoditas pangan, hortikultura dan perkebunan. Namun sejak tahun 2021 harga bahan baku pupuk NPK melambung drastis baik urea maupun DAP (Gambar 1). Harga urea bulan April 2020 sebesar 75 USD sedangkan DAP sebesar 60 USD. Sementara harga produk yang sama untuk bulan April 2022 berturut turut urea menjadi 350 USD dan DAP menjadi 350 USD. Kenaikan kedua bahan baku pupuk NPK terjadi 466% untuk Urea sedangkan untuk DAP mengalami kenaikan 1.005%. Apa dampaknya dengan melambungnya harga bahan baku pupuk bersubsidi? Paling tidak ada dua hal: (a) volume pupuk bersubsidi menurun sekalipun besaran anggarannya tetap (b) padi lahan kering menjadi korban utama dan pertama dengan menurunnya volume pupuk bersubsidi dan melambungnya harga pupuk non subsidi.
Gambar 1. Harga Urea dan DAP Internasional Tahun 1992-2022
Penurunan Volume Pupuk Bersubsidi
Jika pemerintah tidak melakukan langkah taktis dan strategis dalam penggunaan dana subsidi pupuk, maka dipastikan terjadi bencana produksi pertanian baik pangan, hortikultura maupun perkebunan utama. Argumennya, volume pupuk bersubsidi menurun, sementara jumlah komoditas penggunanya tetap dengan luasan yang terus meningkat. Artinya dosis pupuk komoditas tersebut semakin menurun, sehingga dipastikan produktivitas yang dihasilkan juga akan anjlok. Menyikapi hal tersebut, maka pemerintah melalui Permentan 10 Tahun 2022 merubah jumlah komoditas penerima subsidi dari 72 komoditas menjadi hanya sembilan komoditas utama yaitu: Padi, Jagung, Kedelai, Kopi, Kakao, Tebu, Bawang Putih, Bawang Merah dan Cabai dengan pembatasan luas lahan maksimal 2 ha. Jenis pupuknya juga berkurang dari Urea, NPK, SP 36, ZA, pupuk organik menjadi hanya urea dan NPK saja. Pertanyaan fundamental berikutnya adalah, bagaimana cara mempertahankan produktivitas dan produksi komoditas utama yang tidak mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi? Sebagai catatan bahwa selama ini layanan pupuk bersubsidi hanya mencapai 58,66%. Artinya petani penerima pupuk bersubsidi, sudah jatuh masih harus tertimpa tangga. Sisa petani yang prosentasenya mencapai 43,34% terpaksa harus menggunakan pupuk non subsidi dengan harga yang sangat mahal dan seringkali sulit didapat saat kebutuhan puncak. Beberapa harus menggunakan pupuk non subsidi atau menjadi korban pupuk abal-abal dengan mutu rendah harga mahal, celakanya juga sering tidak mudah didapat. Petani terpaksa dan harus menerima karena tidak berdaya dengan situasi dilematik tersebut. Argumennya semua pedagang pupuk non subsidi pasti akan menggoyang harga dan pasokan pupuk non subsidi saat kebutuhan maksimal untuk memperoleh keuntungan sesaat dan menari di atas penderitaan petani. Cara yang paling moderat dan operasional untuk mengatasi hal tersebut adalah memanfaatkan pupuk organik utamanya pupuk kandang dan bahan pupuk anorganik berbahan baku mineral dalam negeri seperti fosfat alam (rock phodpste) dan guano untuk menyediakan hara tanaman posfor dan kalium. Penggunaan pupuk anorganik berbahan baku lokal terbukti berhasil dikembangkan oleh komunitas petani muda keren di Bali yang tidak menggunakan bahan baku pupuk pabrikan sama sekali. Mereka cukup menggunakan pupuk batuan posfat dan guano dari dalam negeri dikombinasikan dengan pupuk organik yang dihasilkan ternak mereka.
Padi Lahan Kering Menjadi Korbannya
Petani pemilik maupun penggarap lahan kering umumnya miskin, marginal dan tidak berdaya dalam menghadapi gejolak penurunan volume pupuk bersubsidi. Untuk memitigasi penurunan produktivitas harga pupuk non subsidi akibat harga bahan baku pupuk di pasar internasional yang tidak terkendali, diperlukan intervensi pemerintah langsung di lapangan melalui penyediaan sumber-sumber air setempat. Paling tidak ada tiga manfaat yang dapat dipetik petani lahan kering. Pertama, peningkatan ketersediaan air akan meningkatkan pH atau kemasaman tanah, sehingga ketersediaan hara tanah yang awalnya terikat/terfiksasi menjadi tersedia. Artinya terjadi peningkatan ketersediaan hara tanah secara alamiah. Hara-hara yang terfiksasi akan lepas dengan adanya penggenangan, apalagi sebagian besar pertanian lahan didominasi jenis podsolik merah kuning (Ultisol). Kedua, ketersediaan air yang lebih bagus akan menekan resiko kehilangan hasil jika kebutuhan air pada periode kritis yaitu vegetative maksimal sampai pembungaan dapat teratasi. Ketiga, peningkatan ketersediaan air akan memperpanjang masa tanam, yang apabila terjadi dalam waktu yang lebih panjang, akan meningkatkan indeks pertanaman. Jika upaya ini berhasil dengan baik, maka secara nasional dapat memperbaiki penurunan indek pertanaman sebagaimana yang terjadi pada Tahun 2021.
Sebagai negara tropis yang berada di garis khatulistiwa, maka evapotranspirasi yang tinggi bisa dipanen uap airnya untuk memperbaiki ketersediaan air dan iklim mikro secara in situ. Curah hujan selama 5-6 bulan setahun dapat diredistribusi melalui rainfall and runboff harvesting untuk dimanfaatkan pada musim kemarau dalam rangka menggenjot produktivitas padi gogo di musim gadu. Jika pendekatan ini berhasil diaplikasikan, maka petani akan memperoleh keuntungan yang besar, karena padi gadu hasilnya tinggi, biaya pengendalian hama murah dan mutu gabahnya bagus serta harganya mahal, karena tidak banyak terjadi panen saat musim kemarau. Itulah mengapa petani di Jawa selalu berburu air di musim kemarau, bahkan pada kondisi tertentu mereka bertarung fisik karena berebut air.
Pemerintah dapat mengembangkan menu program dam parit yang banyak dan merata di kawasan lahan kering, agar periode tanam diperluas, resiko kekeringan dimitigasi dan produktivitas padi lahan kering dapat dimaksimalkan. Pengalaman Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian dalam penyediakan sumber air setempat perlu terus dikembangkan merespon harga bahan baku pupuk di pasaran internasional yang semakin liar dan tidak terkendali. Bahkan beberapa pakar menyatakan bahwa saat ini perang telah bergeser dari perang fisik di lapangan, bergeser ke perang ekonomi, lanjut perang komoditas dan terakhir ini perang pupuk. Kita harus berfikir keras dan mengembangkan local genius untuk memenangkan kompetisi ini yang tidak tahu kapan berakhir dan siapa pemenangnya.
Oleh: Marwanti, SP (PMPH Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)