OPT UTAMA KEDELAI DAN PENGENDALIANNYA SECARA RAMAH LINGKUNGAN
OPT UTAMA KEDELAI DAN PENGENDALIANNYA SECARA RAMAH LINGKUNGAN
Oleh: Nur Rahmi Endah Utami, SP., MA., MPA.
POPT Ahli Muda - Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
ABSTRAK
OPT utama kedelai merupakan beberapa organisme yang mengganggu tanaman kedelai dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman dengan intensitas sedang hingga berat bahkan puso sehingga berakibat pada kerugian secara ekonomis. OPT utama pada tanaman kedelai meliputi lalat bibit (Ophiomyia phaseoli), ulat grayak (Spodoptera litura F.), penggulung daun (Lamprosema indicata F.), penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Tr.), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp), dan tikus (Rattus argentiventer). Kajian ini bertujuan untuk mengetahui taksonomi, perilaku, dan gejala serangan dari masing-masing OPT utama pada tanaman kedelai serta rekomendasi pengendaliannya yang ramah lingkungan dan mengacu pada prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Kajian ini dilakukan melalui penelusuran pustaka atau studi literatur.
Lalat bibit O. phaseoli Try. menyerang tanaman kedelai sejak awal tumbuh di permukaan tanah hingga berumur kurang dari satu bulan. Serangannya dapat menyebabkan kematian pada tanaman muda sampai 70%. Ulat grayak S. litura memakan daun sehingga mengganggu proses fotosintesis dan akhirnya mengakibatkan kehilangan hasil panen. Larva penggulung daun L. indicata yang menetas akan membentuk gulungan daun dengan merekatkan daun. Di dalam gulungan daun, ulat memakan daun hingga tinggal tulang daunnya saja. Kehilangan hasil akibat serangan hama L. indicata dapat mencapai 80%. Larva E. zinckenella menggerek kulit polong, masuk dan menggerek polong dan dapat menyebabkan kerugian hingga 80% dari hasil panen. Ulat jengkal C. chalcites menyerang kedelai sepanjang masa vegetatif sampai generatif. Larva dapat memakan jaringan daun sampai ke bagian tulang daun, sehingga daun tampak transparan atau berlubang seperti jendela dan dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai dengan 18%. Tikus R. argentiventer dapat merusak tanaman secara langsung karena mencari makan pada saat tanaman sudah mulai berbuah. Sedangkan secara tidak langsung, tikus merusak tanaman untuk mengasah gigi depannya. Perlindungan pertanian dilaksanakan dengan sistem Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) sesuai amanat UU RI No. 22 Tahun 2019, Pasal 48, mencakup pengendalian dengan cara bercocok tanam, pengendalian secara mekanis, penanaman varietas tahan, dan pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan predator, parasitoid serta entomopatogen baik dari golongan jamur, bakteri, maupun virus,.
Kata kunci : Kedelai, Ophiomyia phaseoli, Spodoptera litura, Lamprosema indicata, Etiella zinckenella, Chrysodeixis chalcites, Rattus argentiventer, PHT
PENDAHULUAN
Tanaman kacang terutama kacang kedelai ini diketahui memiliki kandungan protein nabati yang sangat tinggi serta bermanfaat bagi tubuh manusia. Kacang kedelai juga diketahui mengandung kalsium, zat besi, protein, potasium dan phosphorous, serta kaya akan vitamin B kompleks (Anonim, 2022). Luas tanam kedelai di Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada Tahun 2021, proyeksi luas panen kedelai sebesar 362.612 hektar, diperkirakan turun 5% menjadi 344.612 hektar pada Tahun 2022. Penurunan luas panen akan berdampak langsung pada berkurangnya produksi kedelai. Produksi kedelai nasional diproyeksikan sebanyak 594,6 ribu ton pada 2022, yang notabene turun 3,05% dari tahun 2021 (Rizaty, M.A., 2022). Penurunan luas panen kedelai tersebut terjadi akibat ketatnya persaingan penggunaan lahan dengan komoditas pertanian lain yang sama-sama bernilai strategis, seperti jagung dan cabai. Selain itu, beberapa hal yang dinilai menjadi kendala dalam budidaya kedelai, antara lain;
a. Benih kedelai yang berkualitas tinggi serta tahan terhadap hama penyakit memiliki harga yang cukup tinggi.
b. Biaya pemeliharaan tanaman kedelai yang semakin besar.
c. Perubahan musim yang sering terjadi di Indonesia mengakibatkan tanaman kedelai mudah diserang oleh hama maupun penyakit.
d. Panjangnya rantai distribusi kedelai mulai dari petani sampai ke konsumen membuat harga kedelai semakin tinggi namun pendapatan petani semakin turun.
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) baik hama maupun penyakit menjadi salah satu kendala pada budidaya tanaman kedelai yang seringkali dapat mengakibatkan gagal panen atau puso. Kehadiran OPT pada suatu tanaman dinyatakan merugikan apabila menyebabkan luka pada tanaman sehingga terjadi kerugian atau kerusakan pada tanaman tersebut. Gangguan yang ditimbulkan oleh masing-masing OPT dapat terjadi sejak benih mulai ditanam sampai dengan masa panen hingga penyimpanan hasil di dalam tempat penyimpanan atau gudang. OPT dapat menimbulkan kerugian secara langsung karena OPT mengurangi kuantitas dan kualitas hasil tanaman, serta meningkatkan biaya produksi. Kerugian tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya serangkaian kerugian tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat. Biaya produksi yang tinggi menyebabkan konsumen terpaksa membayar harga yang lebih tinggi. Berkurangnya hasil menyebabkan lesunya pengangkutan dan ekspor melesu, pajak berkurang, dan lain sebagainya
Dalam rangka pengamanan produksi kedelai, pengelolaan OPT menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, pengamatan dan pengumpulan data dan informasi OPT kedelai sangat diperlukan. Informasi yang tersedia dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan pengendalian. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis serangga yang berpotensi sebagai OPT utama pada tanaman kedelai.
METODE
Pengumpulan data dan informasi dalam kajian ini dilakukan dengan penelusuran pustaka atau studi literatur yang berasal dari berbagai sumber baik dalam bentuk buku, pedoman, maupun buku online, jurnal online, skripsi atau tesis terkait dengan topik kajian yang dapat diakses secara online.
HASIL DAN PEMBAHASAN
OPT merupakan sebutan bagi semua organisme yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian pada tanaman. Pada kajian ini akan diuraikan beberapa jenis OPT yang menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yaitu pada daun dan batang. Sesuai petunjuk teknis pengamatan dan pelaporan OPT dan DPI, diketahui bahwa terdapat 35 jenis OPT yang teridentifikasi mengganggu pertanaman kedelai. 35 jenis OPT tersebut terdiri dari 22 jenis hama dan 13 jenis penyakit (Retnowati, L., 2021).
OPT yang mengganggu tanaman kedelai tersebut memiliki intensitas serangan yang beragam, namun terdapat 6 jenis OPT yang seringkali menyebabkan kerusakan berarti bahkan puso dengan intensitas serangan yang sedang hingga berat apabila tidak dikelola dengan baik dan disebut sebagai OPT utama pada kedelai. Menurut Retnowati, L., (2021), OPT utama pada tanaman kedelai, meliputi; ulat grayak (Spodoptera litura F.), penggerek polong (Etiella zinckenela Tr.), tikus (Rattus argentiventer), penggulung daun (Lamprosema indicata F.), lalat kacang (Ophiomyia phaseoli), dan ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp).
Keterangan:
Lalat Kacang (Ophiomyia phaseoli) 4 - 14 Hst
Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) 14 - 63 Hst
Penggulung Daun (Lamprosema indicata F.) 21 - 28 Hst/3-4 Mst
Penggerek Polong Kedelai (Etiella zinckenella Tr.) 40 - 65 Hst
Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp) 44 - 54 Hst
Tikus (Rattus argentiventer) Generatif - panen
1. Lalat bibit Ophiomiya phaseoli Try.
Pada tanaman kedelai, hama yang berstatus OPT Utama sebanyak 6 jenis, salah satu OPT yang sangat membahayakan pada fase bibit yaitu hama lalat bibit O. phaseoli Try. Tengkano, 2003, menyatakan bahwa selain pada tanaman kacang kedelai, lalat kacang O. phaseoli dapat hidup pada berbagai jenis tanaman kacang-kacangan.
Hama lalat bibit O. phaseoli Try. menyerang tanaman sejak awal tumbuh di permukaan tanah hingga berumur kurang dari satu bulan (Hasanah, et.al., 2018) Gangguan yang terjadi pada fase kecambah, pada tanaman umur 4–10 hari setelah tanam (HST), yang apabila 100% kotiledon hilang maka menyebabkan kehilangan hasil sebesar 8–9%. Kalau batang hipokotil 2 tanaman dari 100 tanaman rusak total akan menyebabkan kehilangan hasil sebesar 2% . Namun karena larva lalat kacang merusak batang hipokotil yang menyebabkan kematian tanaman, maka kehadiran lalat kacang pada fase kecambah penting diperhitungkan (Tengkano, 2003). Suharsono, (2011) menyebutkan bahwa serangan lalat bibit pada tanaman kedelai di Indonesia dapat menyebabkan kematian pada tanaman muda sampai 70% .
Berdasarkan taksonominya, lalat bibit O. phaseoli diklasifikasikan sebagai berikut (Kalshoven, 1981):
Kingdom: Animalia
Phylum: Arthropoda
Class: Insecta
Order: Diptera
Family: Agromyzidae
Genus: Ophiomyia
Species: Ophiomyia phaseoli
Lalat bibit betina meletakkan telur sejumlah 38-79 satu persatu pada tanaman muda yang baru tumbuh. Telur diletakkan di dalam lubang tusukan antara epidermis atas dan bawah keping biji atau disisipkan dalam jaringan mesofil dekat pangkal keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua. Telur berwarna putih seperti mutiara dan berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,31 mmdan lebar 0,15 mm. Stadia telur 2 hari. Setelah menetas, larva akan masuk ke dalam keping biji atau pangkal helai daun pertama dan kedua,kemudian membuat lubang gerekan. Panjang larva dapat mencapai 3,75 mm. Larva menggerek batang melalui kulit batang sampai ke pangkal batang, dan berubah bentuk menjadi kepompong. Stadia larva 5-6 hari. Kepompong mula-mula berwarna kuning kemudian berubah menjadi kecoklat-coklatan. Stadia larva 8-9 hari (Lanya, 2007).
Serangan lalat bibit segera terjadi setelah tanaman muncul di atas permukaan tanah. Lalat bibit kacang menyerang sejak tanaman muda muncul ke permukaan tanah hingga tanaman umur10 hari. Pada umumnya larva mulai makan dan merusak jaringan tanaman, yaitu keping biji, saat tanaman berumur 6 HST. Tanda serangan larva pada keping biji atau daun berupa alur atau garis lengkung berwarna coklat, yaitu liang gerekan larva. Tanda gerekan atau serangan larva telah tampak pada 7 HST, selanjutnya larva menggerek menuju ke batang, terus ke pangkal batang, pangkal akar sampai ke ujung akar melalui kulit batang, dan kulit akar (Tengkano, 2003).
Gambar 2. Gejala serangan Lalat bibit Ophiomiya phaseoli Try (Foto: Shepard, et.al., 2008)
Akibat putusnya jaringan kulit karena digerek oleh larva, dan pembusukan pada kulit batang,
menyebabkan akar tidak mendapatkan suplai makanan dari keping biji atau daun. Keadaan ini menyebabkan akar tidak dapat berfungsi normal sehingga tanaman akan layu, kering, dan akhirnya mati. Proses kematian tanaman mulai terjadi sejak 14 HST dan saat itu larva sudah memasuki stadia prapupa atau pupa. Kematian tanaman berlangsung selama 16 hari yaitu sejak 14 HST sampai 30 HST (Tengkano, 2003).
2. Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Salah satu jenis OPT penting pada tanaman kedelai adalah ulat grayak, Spodoptera litura Fabricius. Kerusakan daun oleh ulat grayak mengganggu proses fotosintesis dan akhirnya mengakibatkan kehilangan hasil panen. Besarnya kehilangan hasil tergantung pada tingkat kerusakan daun dan tahap pertumbuhan tanaman pada saat terjadi serangan. Kerusakan daun sebesar 12,5%, menyebabkan kerugian ekonomi setara dengan biaya dua kali aplikasi insektisida.
Berdasarkan taksonominya, ulat grayak Spodoptera litura diklasifikasikan sebagai berikut (Kalshoven, 1981):
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Noctuidae
Genus : Spodoptera
Spesies : Spodoptera litura
Ngengat S litura biasanya berwarna agak keabu-abuan. Stadium ngengat berlangsung selama 1–13 hari dengan rata-rata 9,3 hari. Ngengat betina memproduksi telur mencapai 3.000 butir per induk betina. Tengkano et.al. (1997) menyatakan telur diletakkan berkelompok pada permukaan bawah daun dan kadang-kadang pada permukaan atas daun antara pukul 18.00 s/d pukul 03.00 dini hari. Stadium telur berlangsung 3–5 hari dengan rata-rata 3 hari. Setelah telur menetas, larva tinggal untuk sementara waktu di tempat telur diletakkan, dan makan daun tersebut secara berkelompok. Setelah habis dan tinggal epidermis daun bagian atas, larva akan pindah ke daun-daun yang lain dalam satu rumpun tanaman kedelai. Perpindahan larva instar-1 dan instar-2 dibantu tiupan angin dan benang pintal untuk berayun. Umur larva instar-1-6 rata-rata 2-3 hari. Stadium larva berlangsung selama 13–17 hari dengan rata-rata 14 hari. Kepompong berwarna coklat dan terbentuk di dalam rongga tanah. Stadium pupa berlangsung selama 7–10 hari.
Gambar 3. Siklus Hidup Ulat Grayak Spodoptera litura (Foto: CABI, 2022; )
Kerusakan daun oleh larva muda (instar 1-2) ditandai dengan warna keputih-putihan. Hal ini karena jaringan daun bagian bawah habis dimakan dan yang tertinggal hanya epidermis bagian atas. Larva dewasa (instar 3-5) dapat memakan tulang daun yang muda, sedangkan pada daun tua, tulang-tulang daunnya akan tersisa. Selain merusak daun, larva juga memakan polong yang masih hijau. Larva dalam jumlah besar dapat merusak seluruh tanaman (Fattah & Ilyas, 2016).
Gambar 4. Gejala Serangan Ulat Grayak Spodoptera litura pada Instar 1-3 (a.) dan Gejala Serangan pada Instar 4-6 (b.) (Foto: Fattah & Ilyas 2016)
3. Penggulung Daun (Lamprosema indicata F.)
Dari berbagai OPT yang menyerang dan merusak tanaman kacang kedelai, salah satu OPT yang penting adalah ulat penggulung daun (Lamprosema indicata F). Didukung penelitian Marwoto (2015), kehilangan hasil akibat serangan hama L. indicata dengan kerusakan pada daun kedelai yang cukup parah dapat mencapai 80%.
Berdasarkan taksonominya, penggulung daun (Lamprosema indicata F.) diklasifikasikan sebagai berikut (Kalshoven, 1981):
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Lepidoptera
Family : Pyralidae
Genus : Lamprosema
Species : Lamprosema Indicata
Menurut Marwoto, et.al., (2017), ngengat penggulung daun betina berukuran kecil, berwarna coklat kekuningan dengan lebar rentang sayap 20 mm. Ngengat betina tersebut akan meletakkan telur secara berkelompok pada daun-daun muda. Setiap kelompok telur terdiri dari 2-5 butir. Pada saat menetas, ulat yang keluar dari telur berwarna hijau, licin, transparan dan agak mengkilap. Pada bagian punggung (toraks) terdapat bintik hitam. Panjang tubuh ulat yang telah tumbuh penuh 20 mm. Selanjutnya ulat tersebut akan menjadi kepompong yang terbentuk di dalam gulungan daun dimana larva hidup dan berkembang.
Gambar 5. Siklus Hidup Penggulung Daun Lamprosema indicata F. (Foto: Marwoto, et.al., 2017; Anonim, 2022)
Larva yang menetas akan membentuk gulungan daun dengan merekatkan daun yang satu dengan yang lainnya dari sisi bagian dalam dengan zat perekat yang dihasilkannya. Di dalam gulungan daun, ulat memakan daun hingga tinggal tulang daunnya saja. Adanya daun-daun yang tergulung menjadi satu dan apabila gulungan dibuka, akan dijumpai ulat atau kotorannya yang berwarna coklat hitam menjadi gejala serangan yang khas dari ulat penggulung daun tersebut (Marwoto, et. al., 2017).
Gambar 6. Gejala Serangan Penggulung Daun Lamprosema indicata F. (Foto: Marwoto, et.al., 2017)
4. Penggerek Polong Kedelai (Etiella zinckenella Tr.)
Salah satu hama utama yang menyerang tanaman kedelai di Indonesia adalah penggerek polong kedelai Etiella Zinckenella. Menurut Pranata, et.al. (2014), E. zinckenella merupakan hama utama kedelai yang dapat menyebabkan kerugian hingga 80% dari hasil panen.
Berdasarkan taksonominya, penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Tr.) diklasifikasikan sebagai berikut (Kalshoven, 1981):
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Pyralidae
Genus : Etiella
Spesies : Etiella zinckenella
Ngegat penggerek polong berwarna keabu-abuan. Ciri khas ngengat E. Zinckenella yaitu adanya garis putih pada pinggir sayap depan. Ngengatnya tertarik pada cahaya, meletakkan telur pada malam hari. Lama hidup imago berkisar 7-19 hari. Seekor betina mampu bertelur cukup banyak, rata-rata 73 butir dan maksimum 204 butir. Telur berbentuk manyerupai buah alpukat. Telur diletakkan satu-satu atau berkelompok 3 - 5 butir, Telur diletakkan di antara rambut-rambut polong, biasanya di dekat pangkal polong, juga dapat diselipkan di daun ketiak, di bagian bawah daun kelopak bunga, di batang muda dekat bunga atau polong. Stadia telur rata-rata 4 hari.
Gambar 7. Siklus Hidup Penggerek Polong Kedelai Etiella Zinckenella (Foto: CABI, 2022)
Larva instar-1 yang baru muncul biasanya berwarna putih kekuning-kuningan, kepalanya berwarna coklat sampai hitam, dan mempunyai kepala yang lebih besar daripada badannya. Larva instar-2 dan 3 berwarna kehijau-hijauan dengan garis merah memanjang yang di tumbuhi rambut. Larva instar-4 berwarna kemerah-merahan atau merah kebiru-biruan atau lembayung. Stadia ulat 13-18 hari (rata-rata 16 hari). Selanjutnya larva berubah menjadi pupa. Pupa berbentuk lonjong, panjangnya 8-10 mm dan lebarnya 2 mm, berwarna coklat. Pupa terbentuk di dalam tanah yang di bungkus kokon berbentuk bulat telur yang terbuat dari butiran tanah dan benang pintal. stadia kepompong antara 9-15 hari (Lanya, 2007).
gambar 8. Gejala Serangan Penggerek Polong Kedelai Etiella Zinckenella (Foto: CABI, 2022)
Larva menggerek kulit polong, masuk dan menggerek polong. Larva instar 1 hidup di dalam polong. Setelah berganti kulit tinggal di luar polong. Polong yang telah ditinggalkan memiliki dua lubang gerek dan butir kotoran kering yang terikat benang pintal. Gejala serangan penggerek polong yang terlihat, yaitu adanya lubang besar pada polong tempat biji berada dan terdapat bekas kotoran gerekan larva pada kulit polong sehingga masih sulit untuk dikendalikan (Dinauli, et.al., 2020).
5. Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp)
Pada fase reproduktif sampai pengisian dan pemasakan polong serangan hama pemakan daun juga cukup banyak, baik oleh satu jenis hama maupun bersama-sama. Hama pemakan daun yang muncul pada fase ini antara lain ulat jengkal kedelai (Chrysodeixis chalcites Esp).
Berdasarkan taksonominya, ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp) diklasifikasikan sebagai berikut (Kalshoven, 1981):
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Family : Noctuidae
Genus : Chrysodeixis
Species : Chrysodeixis chalcites
Menurut Lanya (2007), imago C. Chalcites mempunyai sayap berwarna khas, yaitu dasarnya hitam coklat dengan sepasang bintik putih pada masing-masing sayap. Imago aktif pada malam hari dan tertarik dengan cahaya lampu. Umur imago 5-12 hari. Imago meletakkan telur di permukaan daun bagian bawah. Telur berbentuk bundar agak pipih berwarna keputih-putihan kemudian berubah menjadi kekuningan sebelum menetas. Telur menetas 3-4 hari setelah diletakkan. Larva berwarna hijau, kepala kecil dengan 3 tungkai palsu. Larva muda maupun tua biasanya diam di permukaan bawah helai daun. Stadium larva 14-19 hari. Larva insta akhir berukuran antara 30-40 mm. Pupa mempunyai kepompong yang transparan, berwarna hijau muda dan pada punggungnya berwarna coklat hitam. Umur pupa 6-11 hari.
Gambar 9. Siklus Hidup Ulat Jengkal Kedelai Chrysodeixis chalcites Esp. (Foto: CABI, 2022)
Ulat jengkal menyerang kedelai sepanjang masa vegetatif sampai generatif. Serangan yang mempunyai resiko terbesar terjadi selama pembungaan sampai pengisian polong. Larva/ulat yang masih kecil hanya memakan jaringan daun tidak sampai ke bagian tulang daun, karena
itu daun tampak transparan atau berlubang kecil seperti jendela, sementara larva yang sudah besar (instar 6) memakan seluruh bagian daun dan 90% lebih kerusakan oleh ulat jengkal disebabkan larva pada fase ini Kerusakan daun yang disebabkan oleh ulat jengkal dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai dengan 18% (Inayati dan Marwoto, 2011).
Gambar 10. Gejala Serangan Ulat Jengkal Kedelai Chrysodeixis chalcites Esp. (Foto: Anonim, 2022)
6. Tikus (Rattus argentiventer)
Tikus sawah merupakan salah satu jenis OPT pada tanaman yang relatif sulit dikendalikan. Kemampuannya dalam berkembang biak dan mobilitasnya sangat cepat serta daya rusaknya cukup tinggi; sehingga kehadiran tikus sawah selalu menjadi ancaman pada pertanaman. Tikus merupakan binatang pemakan segala atau omnivora dan cenderung aktif pada malam hari (nokturnal) sedangkan siang harinya mereka berlindung di dalam lubang-lubang yang telah dibuatnya pada tanggul irigasi, pematang atau semak-semak. Tikus sawah mampu berkembang biak dengan cepat, terutama jika kondisi pakan optimal (Wiranti dan Martini, 2004). Selain kemampuan berkembangbiak sangat cepat, tikus juga memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi terhadap lingkungan (Herawati, 2021).
Berdasarkan taksonominya, Tikus (Rattus argentiventer) diklasifikasikan sebagai berikut (Baker et.al., 1976):
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Murdae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus argentiventer
Gambar 11. Tikus Rattus argentiventer (Foto: Priyambodo, 2021)
Menurut Rokhlani (2021), tikus merusak tanaman dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, tikus merusak tanaman karena mencari makan pada saat tanaman sudah mulai berbuah. Sedangkan secara tidak langsung, tikus merusak tanaman untuk mengasah gigi depannya. Tikus dikenal memiliki 5 indera;
a. Indera penglihatan (vision), Meskipun buta warna, penglihatan tikus sawah sangat peka terhadap cahaya sehingga mampu mengenali bentuk benda di kegelapan malam hingga jarak pandang 10- 15m.
b. Indera pendengaran (hearing), memiliki dua puncak tanggap akustik (bimodal cochlear), yaitu pada selang suara audible (suara yang dapat didengar manusia pada rentang frekuensi 20Hz-20KHz) dan pada suara ultrasonik (tidak dapat didengar manusia pada frekuensi >20Khz).
c. Indera penciuman (smell), berkembang sangat baik. Tikus sawah mampu mengenali pakan, sesama tikus, dan predator dengan hanya menggerakkan kepala turun-naik dan mengendus.
d. indera perasa (taste), tikus mampu memilah pakan yang aman dan menolak pakan yang tidak disukainya.
e. Indera peraba (touch) berupa vibrissae dan kumis (misai) sangat membantu aktivitas tikus pada malam hari. dengan cara menyentuhkan sensor peraba pada permukaan lantai, dinding, dan benda lain sehingga tikus dapat menentukan arah dan mengetahui ada/tidaknya rintangan.
Dilengkapi 5 indera tersebut, tikus mampu melakukan aktivitas sebagai berikut (Rokhlani, 2021);
1. Mengerat untuk mengurangi laju pertumbuhan gigi seri,
2. Menggali (digging) untuk membuat lubang sarang di dalam tanah,
3. Melompat lebih dari satu meter dan meloncat >50 cm,
4. Memanjat (climbing) benda-benda yang permukaannya relatif kasar,
5. Berenang biasanya digunakan untuk menyelamatkan diri dan menyeberangi sungai saat migrasi, serta
6. Menyelam hingga >1 menit untuk menyelamatkan diri dari predator.
Selain kemampuan diatas, tikus juga memiliki kemampuan belajar dan mengingat beberapa hal termasuk diantaranya letak sarang, lokasi sumber pakan dan air, serta pakan beracun yang menyebabkan sakit, kemampuan komunikasi dimana tikus dapat mengeluarkan suara peringatan untuk menyampaikan bahaya dan penanda territorial, serta kemampuan untuk mencurigai pada setiap ada benda baru (termasuk pakan) di lingkungannya, tikus akan menghindari kontak dengan benda tersebut.
Serangan tikus biasanya malam hari dengan cara mengerat batang tanaman. Saat pagi hari batang dan daun tanaman sudah berserakan di tanah (Anonim, 2018).
Keberadaan OPT di areal budidaya tanaman pertanian mengancam stabilitas produksi dan produktivitas tanaman, serta menyebabkan kehilangan hasil. Jumlah kehilangan hasil oleh serangan OPT tergantung pada kondisi agroklimat, intensitas pertanaman, varietas yang digunakan, pengelolaan lahan dan tanaman, dan metode pengendalian OPT. Serangan OPT dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar 20-95%, bahkan serangan secara massif menyebabkan puso atau gagal panen.
Petani umumnya menggunakan pestisida kimiawi setiap terjadi serangan hama dan penyakit pada tanaman budidaya, bahkan mereka menggunakannya tanpa memperhatikan OPT target, cenderung berlebihan, dan tidak tepat baik jenis, dosis, metode aplikasi, maupun frekuensi pemberian. Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan tersebut meninggalkan residu dalam tanah, air, dan terangkut ke dalam produk pertanian yang akan menurunkan kualitas lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya . Paparan pestisida dalam jangka panjang akan mengganggu kesehatan organ mata, kulit, pernafasan, jantung, pencernaan, dan sistem syaraf . Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat mengakibatkan resistensi, resurjensi hama dan permasalahan hama sekunder seperti peningkatan resistensi yang diwariskan.
Sesuai dengan amanat UU RI No. 22 Tahun 2019, Pasal 48, perlindungan pertanian dilaksanakan dengan sistem Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) serta penanganan Dampak Perubahan Iklim.
PHT menekankan pada pemilihan, perpaduan, dan penerapan pengendalian hama yang didasarkan pada perhitungan dan penaksiran konsekuensi ekonomi, ekologi, dan sosiologi (Untung 2000). Prinsip-prinsip PHT menurut Untung (2000), yakni bahwa
a. Sasaran PHT untuk membatasi dan mengendalikan populasi hama yang tidak merugikan,
b. Penerapan secara holistik dengan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memperoleh anjuran yang optimal,
c. PHT mempertimbangkan kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial,
d. Memprioritaskan pengendalian secara alami dan hayati seperti penggunaan varietas tahan OPT, praktis budidaya, pemanfaatan musuh alami hama (parasit, predator, pathogen hama),
e. Penggunaan pestisida kimiawi secara bijaksana, dan
f. Pemantauan dan pengamatan kondisi hayati dan lingkungan.
Pengendalian dalam konsep PHT terdiri atas langkah pencegahan (preventive controls) dan langkah pengendalian (curative controls). Keberadaan hama pada tanaman budidaya harus disikapi secara bijaksana. Organisme pengganggu tanaman (OPT) dikendalikan secara terpadu mengikuti konsep pengendalian hama terpadu (PHT), penggunaan pestisida kimiawi merupakan opsi terakhir dengan memperhatikan kondisi ambang ekonomi di lapangan (Sutriadi, et.al. 2019).
1. Pengendalian dengan cara bercocok tanam;
a. Sanitasi,
Sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan lahan terutama pada lokasi yang endemis untuk mengekspose pupa hama terhadap musuh alaminya. Sehingga populasi awal pada pertanaman berikutnya akan berkurang
b. Tanam serempak
Tanam serentak ditujukan agar terjadinya penurunan populasi awal hama. Tanam serempak dilakukan dengan selisih waktu tanam tidak lebih dari 10 hari. Luas areal tanam sekurang-kurangnya 600-1.000 ha. Tanam serentak dilakukan supaya hama yang datang pada pertanaman yang ditanam lebih awal tidak menjadi sumber hama untuk pertanaman yang ditanam berikutnya pada hamparan yang sama. Selain itu, dimaksudkan agar terjadi pengenceran populasi hama yang berasal dari alam sekitar hamparan sehingga kerugian yang ditimbulkan terbagi rata bagi masing-masing petani.
c. Tanaman perangkap,
Dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan supaya populasi hama yang akan dikendalikan mengumpul pada areal terbatas. Dengan demikian pengendalian hanya dilakukan pada tanaman perangkap. Sebagai contoh, sesuai hasil penelitian Tengkano et al. (1997), menunjukkan bahwa kedelai MLG 3023 lebih disukai ngengat S. litura untuk meletakkan telurnya.
2. Pengendalian secara mekanis,
Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan mengambil kelompok telur dan kelompok larva serangga hama di pagi dan sore hari. Selain itu, juga dapat melalui penggunaan mulsa jerami karena terbukti dapat menekan serangan lalat kacang sebesar 50–70% (Marwoto, 1983).
3. Penanaman Varietas Tahan, seperti varietas Ijen diduga tahan terhadap ulat grayak (Muchlis, 2003).
4. Pengendalian secara Biologi
Pemanfaatan musuh alami serangga hama terdiri dari tiga kelompok yaitu predator, parasitoid, dan pathogen (cendawan, bakteri, nematoda, dan virus).
? Lalat Kacang (Ophiomyia phaseoli)
i. Parasitoid pupa
Terdapat empat jenis parsitoid pupa; Trigonogastra agromyzae Dodd., Cynipoide sp., Eurytoma poloni Grault, dan Eurytoma sp., yang mempunyai kemampuan memarasit berturut-turut 59,1%; 40,5%; 0,2%; dan 0,2% (Tengkano W. 2003).
? Ulat Grayak (Spodoptera litura)
i. Jamur entomopatogen, antara lain; Metharizium anisopliae, Beauveria bassiana, dan Lecanicillium lecanii.
Mortalitas larva Spodoptera litura pada jenis jamur M. anisopliae (57,78%) tertinggi dibandingkan B. bassiana (51,11%) dan terendah L. lecanii (40,00%) (Masyitah, et.al., 2017). Gejala serangan jamur entomopatogen pada larva S. litura yaitu gerakannya lamban, berubah warna menjadi kepucatan, nafsu makan berkurang, lama-kelamaan diam dan mati.
ii. Bakteri entomopatogen, antara lain; Bacillus thuringiensis, lebih dari 90% mortalitas larva instar 1 dan 2, serta 80% mortalitas larva instar 3. Selain itu, juga bakteri Staphylococcus sciuri dan Serratia sp yang terbukti mampu membunuh larva instar 1 dan 2 dari S. litura dengan tingkat mortalitas 83% and 86%, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali S. litura (Zulfiana, D. et. al. 2017).
iii. Nematoda entomopatogen, antara lain; Steinernema carpocapsae, S. glaseri, Heterorhabditis bacteriophora, dan H. indica.
Mortalitas larva S. litura sebesar 94,6%, 90,4%, 86,6%, dan 58,6%, berturut-turut disebabkan oleh S. carpocapsae, S. glaseri, H. bacteriophora, dan H. indica pada 72 jam setelah inokulasi (Baliadi, Y. 2007)
iv. Virus entomopatogen, antara lain; Spodoptera litura Nuclear Polyhidrosis Virus (SlNPV).
? Penggulung Daun (Lamprosema indicata Fabricius)
i. Jamur entomopatogen, antara lain; Lecanicillium lecanii dan Nomuraea rileyi. Lecanicillium lecanii diketahui mampu menginfeksi telur dan nimfa dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi hingga mencapai 50% (Anonim, 2022). Sedangkan Nomuraea rileyi terbukti efektif mengendalikan ulat penggulung daun (Lamprosema indicata) (Y. Prayogo, 2022).
? Penggerek Polong (Etiella zinckenella)
i. Jamur entomopatogen, antara lain; Lecanicillium lecanii dan Beauveria bassiana. Aplikasi L. lecanii sebanyak 3x pada fase telur berhasil menggagalkan penetasan telur hingga 80% secara in vitro (Pratama et.al., 2014).
ii. Bakteri entomopatogen, antara lain; Bacillus thuringiensis.
iii. Predator, antara lain; predator imago dan predator larva.
? Predator imago: Lycosa sp., Oxyopes sp., Carabidae, Vespidae, Mantidae, Asylidae, Tettigonidae, dan Cycindelidae
? Predator larva: Paederus fuscipes
iv. Virus entomopatogen, antara lain; Spodoptera litura Nuclear Polyhidrosis Virus (SlNPV).
? Ulat Jengkal (Chrysodeixis chalcites)
i. Parasitoid
Terdapat beberapa parasitoid yang menjadi musuh alami dari ulat jengkal, antara lain; Trichogramma chilonis, Copidosoma floridanum, Apanteles sp., Microplitis sp., Meteorus autographae, Copidosoma truncatellum (Inayati dan Marwoto, 2011).
ii. Predator
Diketahui terdapat predator telur dan larva pada ulat jengkal. Beberapa predator yang teridentifikasi sebagai predator ulat jengkal dari genus sebagai berikut; Lebia analis, Coleomegilla maculate, Rhinocoris fuscipes, Geocoris spp., Reduviolus dan Tropiconabis, Calosoma spp (Inayati dan Marwoto, 2011).
iii. Jamur entomopatogen
Entomophthora gammae, Massospora sp dan Nomuraea rileyi (Inayati dan Marwoto, 2011).
iv. Bakteri entomopatogen
Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana (Inayati dan Marwoto, 2011).
v. Virus entomopatogen
Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) (Inayati dan Marwoto, 2011).
? Tikus (Rattus Argentiventer)
i. Predator:
Beberapa hewan yang teridentifikasi menjadi predator tikus, meliputi; burung hantu (Tyto alba), kucing, anjing, dan ular.
ii. Trap Barrier System (TBS) merupakan suatu sistem pengendalian tikus sawah dengan komponen bubu perangkap, tanaman perangkap, dan pagar plastik (Herlina, 2016).
PUSTAKA
Anonim, 2022. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-1229-BAB1.pdf. Diakses 29 Agustus 2022.
Anonim. 2018. Tikus Serang Tanaman Kacang Hijau dan Kedelai di Bojonegoro. https://blokbojonegoro.com/2018/09/04/tikus-serang-tanaman-kacang-hijau-dan-kedelai-di-desa-sidodadi/. 1 hal.
Anonim. 2022. Mengenal Hama Ulat Penggulung Daun Kedelai. https://www.litbang.pertanian.go.id/. 1 Hal. Diakses 23 Agustus 2022.
Baliadi Y. 2007. Potensi Nematoda Entomopatogen untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada Tanaman Kedelai. Buletin Palawija Nomor 13: 29-36.
CABI. 2022. Chrysodeixis chalcites (golden twin-spot moth). https://www.cabi.org/isc/datasheet/ 13243. 1 hal.
CABI. 2022. Pea Pod Borer Etiella zinckenella. https://www.plantwise.org/knowledgebank/ datasheet/22195. 1 hal.
CABI. 2022. Spodoptera litura (taro caterpillar). https://www.cabi.org/isc/datasheet/44520. 1 hal.
Dinauli, Cristin N., Hesti, N., dan Pujiwati. 2020. Serangan Hama Penggerek Polong (Etiella Zinckenella Treitschke) Pada Lima Genotipe Kedelai (Glysine max L. Merrill). https://repository.unib.ac.id/id/eprint/24107. Diakses 31 Agustus 2022.
Fattah, A. & Ilyas, A.. 2016. Siklus Hidup Ulat Grayak (Spodoptera litura, F) danTingkat Serangan pada Beberapa Varietas Unggul Kedelaidi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016. Hal.: 838
Hasanah, U., Tarmizi, dan Meidiwarman. 2018. Uji Teknik Pengendalian Hama Lalat Bibit Kacang (Ophiomyia phaseoli Try.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Crop Agro Vol. 12 No.1 – Januari 2019. Hal.: 80-89.
Herawati, N. 2021. Pengendalian Tikus Berbasis Aspek Bioekologi. Departemen Proteksi Tanaman – Fakultas Pertanian IPB. 25 hal.
Herlina. 2016. Efektivitas Trap Barrier System Dalam Menangkap Tikus Sawah. Jurnal Agroteknologi-H. 0712140-2016. Hal.: 1.
Inayati, A. dan Marwoto. 2011. Ulat Jengkal Pada Kedelai dan Cara Pengendaliannya. Buletin Palawija No. 22: 63–70 (2011).
Kalshoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeven. Terjemahan dari: De Plagen van de Culture Gewassen in Indonesia. P.T Ichtiar Baru . Jakarta.
Lanya, H. 2007. Pengenalan, Pengendalian dan Aplikasi Peramalan OPT Utama Kedelai. Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan. 33 hal.
Lanya, Harsono. 2007. Pengenalan, Pengendalian dan Aplikasi Peramalan OPT Utama Kedelai. https://fdokumen.com/document/pengenalan-pengendalian-dan-aplikasi-peramalan-opt-vigna-hosei-penutup-tanah-p.html?page=33. 33 hal. Diakses 29 Agustus 2022.
Marwoto. 2015. Hama penggulung daun pada tanaman kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi. https://balitkabi.litbang.pertanian.go.id/kilas-litbang/1794-hama-penggulungdaun-pada-tanaman-kedelai.html. Diakses pada 30 Agustus 2022.
Masyitah, I., Suzanna F. S., Irda S. 2017. Potensi Jamur Entomopatogen untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura F. pada Tanaman Tembakau In Vivo. Jurnal Online Agroekoteknologi. Vol. 5 No. 3 (2017): Page: 484-493
Nuraeni, Y., I. Anggraeni, dan H.S. Nuroniah. Keanekaragaman Serangga Yang Berpotensi Hama Pada Tanaman Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. https://eprints.uai.ac.id/26/1/KEANEKARAGAMAN%20SERANGGA%20YANG%20BERPOTENSI%20HAMA%20PADA%20TANAMAN%20KEHUTANAN.pdf. Diakses 29 Agustus 2022. 9 hal.
Nurani, A.R., I.P. Sudiarta, N.N. Darmiati. 2018. Uji Efektifitas Jamur Beauveria bassiana Bals. terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Tembakau. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika Vol. 7, No. 1, Januari 2018. hal.: 11-23.
Pranata, R., E. Ratnasari, Isnawati, dan Y. Prayogo. Penggunaan Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii untuk Menanggulangi Hama Penggerek Polong Kedelai Etiella zinckenella secara in Vitro. Lentera Bio Vol. 3 No. 3, September 2014: 168–173.
Priyambodo, S. 2021. Fakta Luar Biasa Tentang Tikus dan Pengelolaannya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 33 hal.
Retnowati, L., A. Purwoko, M. Nurhidayat, N. Muhani. 2021. Petunjuk Teknis Pengamatan dan Pelaporan Organisme Pengganggu Tumbuhan serta Dampak Perubahan Iklim. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Jakarta. 121 hal.
Rizaty, M.A. 2022. Proyeksi Luas Panen Kedelai RI Terus Menurun sampai 2024. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/24/proyeksi-luas-panen-kedelai-ri-terus-menurun-sampai-2024. Diakses 29 Agustus 2022. 1 hal.
Shepard, M., Carner, G.R., dan Ooi, P.A.C. 2008. Insects and their Natural Enemies Associated with Vegetables and Soybean in Southeast Asia. Bugwood.org. Diakses 30 Agustus 2022.
Suharsono. 2011. Pemanfaatan Sumber-Sumber Ketahanan Untuk Perakitan Tanaman Tahan Terhadap Hama Pada Tanaman Kedelai. Buletin Palawija No. 21, 2011. Hal: 13-25.
Sutriadi, M.T., E.S. Harsanti, S. Wahyuni, dan A. Wihardjaka. 2019. Pestisida Nabati: Prospek Pengendali Hama Ramah Lingkungan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 13 No. 2. Desember 2019: 89-101.
Tengkano, W. 2003. Lalat Kacang, Ophiomyia phaseoli Tryon (Diptera: Agromyzidae) pada Tanaman Kedelai dan Cara Pengendaliannya. Buletin Palawija No. 5 & 6: 43–56.
Tengkano. 2003. Lalat Kacang, Ophiomyia phaseoli Tryon (Diptera: Agromyzidae) pada Tanaman Kedelai dan Cara Pengendaliannya. Buletin Palawija No. 5 & 6, 2003. Hal.: 43-56.
Wiranti, E.W., dan Martini, T. 2004. Teknologi Pengendalian Tikus Sawah Secara Terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan sosial Ekonomi Pertanian. Departemen pertanian. Yogyakarta 26 Hal.
Y. Prayogo, 2022. Biopestisida Untuk Pengendalian Hama Dan Penyakit Kedelai. Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit. Hal.: 75-94. www.balitkabi.litbang.pertanian.go.id. Diakses 23 Agustus 2022.
Zulfiana, D. N.P.R.A. Krishanti, B. Wikantyoso, dan A. Zulfitri. 2017. Bakteri Entomopatogen Sebagai Agen Biokontrol Terhadap Larva Spodoptera litura (F.). Berita Biologi Vol. 16 No. 1 April 2017. Hal.: 13-21.