Jl. AUP No. 3 Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12520,
Provinsi DKI Jakarta

(021) 7824 669

ID EN
Logo

Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan

7

MENGGENJOT INDEKS PERTANAMAN PADI NASIONAL

Tantangan besar yang harus dihadapi dalam menggenjot produksi padi nasional adalah alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan didefinisikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau keseluruhan kawasan lahan dari fungsi semula ke fungsi lainnya, Data BPS (2021) alih fungsi lahan sawah nasional bervariasi antara 60.000-80.000 hektar  hektar per tahun. Jika indek panen padi yang beralih fungsi antara 2,5-3% dengan produktivitas rata-rata 6 ton Gabah Kering Giling/hektar, maka dalam lima tahun lahan sawah yang beralih fungsi antara 300.000-400.000 hektar dengan kehilangan hasil padi mencapai 1,8 juta ton-2.4 juta ton GKG. Pertanyaannya mengapa alih fungsi lahan semakin masif dan apa langkah mitigasinya? 

Penyebab Alih Fungsi Lahan

Faktor dominan penyebab alih fungsi lahan sangat komplek dan dinamis, serta bervariasi antar ruang dan waktu. Paling tidak ada tiga faktor penyebabnya: (a) pendapatan petani yang semakin menurun (b)  ketersediaan air irigasi yang terus menurun (c)  Undang-Undang No 41/2009 tumpul di lapangan. Sistem pewarisan hak milik sawah, menyebabkan kepemilikan lahan semakin sempit dan tidak produktif jika diusahakan. Dampaknya, para ahli waris memilih menjual lahan sawahnya dan uangnya dibagi ke para ahli waris. Untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi tentu lahan sawah harus dijual ke penguasaha untuk dibangun infrastruktur, perumahan atau pabrik. Cepat dan pasti, luas lahan sawah yang sangat produktif beralih fungsi menjadi bangunan yang masih dan tidak menyediakan tempat untuk menyerap air hujan. Dampak lain yang ditimbulkan, wilayah yang dibangun pabrik dan pemukiman pada musim hujan sering kali terjadi banjir (flood) dan genangan (innondation), karena air hujan tidak diserap oleh tanah. Bangunan pabrik dan pemukiman sering kali mengabaikan keberadaan saluran irigasi, sehingga seringkali lahan sawah di sekitar bangunan pabrik dan permukiman saluran irigasinya terganggu dan pemenuhan kebutuhan air untuk tanaman tidak tercukupi. Cepat dan pasti petani frustasi dan memilih mengalihfungsikan lahan sawahnya. Secara iterative dan konvergen, laju alih fungsi lahan sawah diakselerasi dari berbagai sudut.

Ketersediaan air irigasi yang terus menurun juga menjadi pemicu laju alih fungsi lahan semakin dipercepat. Kompetisi air antar sektor domestik (air minum), municipal dan industri versus sektor pertanian, sudah dipastikan sektor pertanian menjadi korbannya. Selain posisi tawar yang lemah, kemampuan ekonomi yang terbatas, akses birokrasi yang lemah, memosisikan petani menjadi aktor yang menerima apa saja yang diputuskan para pihak dalam pembagian alokasi air. Meskipun sering kali para pihak menyebut bahwa air irigasi menjadi prioritas utama setelah air minum, namun faktanya jauh panggang dari api. Pembagian air untuk irigasi semakin kecil dan terus menurun. Implikasinya, cepat dan pasti luas sawah yang beralih fungsi semakin sulit dibendung lagi. Kondisi ini diperburuk dengan regulasi dalam bentuk perundangan yaitu UU 41/2009 sangat tumpul di lapangan. Perintah penetapan UU lahan pangan berkelanjutan agar Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan luas lahan pangan berkelanjutan banyak tidak dipatuhi. Jika dipatuhi, lahan sawah irigasi teknis yang dipertahankan hanya sedikit. Para pihak memilih untuk mengalihfungsikasn lahan sawah untuk mengeruk rente maksimal.  Lebih celakanya lagi, tidak ada sanksi bagi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang belum menetapkan lahan petertanian pangan berkelanjutan. Implikasinya, laju alih fungsi lahan sawah irigasi teknis tidak terbendung lagi. Bagaimana mengatasi kondisi dilematis tersebut?

Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009

Pemerintah bersama  DPR harus segera mengambil langkah nyata untuk menurunkan laju alih fungsi lahan sampai ambang batas yang dapat ditoleransikan. Caranya dengan melakukan revisi UU 41/2009 beserta aturan turunannya. Belum terlambat kalau Pemerintah dan DPR serius untuk merespon terjadinya krisis pangan di masa mendatang. Kewajiban Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota membuat lahan pertanian pangan berkelanjutan harus dibatasi waktunya, luas lahannya dan disertai sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera. Tanpa sanksi yang tegas, maka alih fungsi lahan akan menjadi ajang pesta para pemburu rente dalam menggerus lahan sawah dan menghancurkan kemampuan produksi pangan nasuional. Alih fungsi lahan diperkirakan akan semakin dahsyat dengan pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia. Memang lahan yang digunakan untuk pembangunan jalan tol tidak banyak, tetapi dampak ikutannya terutama di sekitar pintu masuk dan pintu keluar tol terhadap akselerasi alih fungsi lahan pasti semakin dahsyat. Kita mencatat dan masih ingat bahwa, saat jalan tol jagorawi dibangun, maka di sekitar tol masih terlihat sawah dan lahan pertanian. Lahan sawah dan lahan pertanian telah berganti permukiman dalam jangka waktu 30-50 tahun. Padahal pemerintah telah menginvestasikan uang pinjaman untuk pembangunan saluran irigasi. Kini saluran irigasi itu menjadi parit tak berfungsi dan tidak bernyawa. Padahal, ketika sawah masih ada, saluran irigasi itu menjadi urat nadi pertumbuhan ekonomi nasional.

Padi Super Genjah dan Tahan Kering

Cara paling operasional untuk mempertahankan produksi pangan nasional di bawah gempuran alih fungsi lahan dan ketersediaan air yang terus menurun adalah dengan menaikkan Indek Pertanaman Padi (IP) di lahan eksisting. Pemerintah melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah lama menginisiasi pengembangan padi super genjah dengan umur 80 hari dengan produktivitas yang tinggi. Riset tersebut perlu didorong lebih lanjut dengan menambah keunggulan varietas super genjah dengan tahan kering, sehingga benih tersebut adaptif di semua agroekosistem. Keunggulan padi super genjah tahan kering akan dapat meningkatkan IP padi baik di lahan sawah maupun lahan kering, sehingga secara simultan akan terjadi akselerasi peningkatan IP secara nasional. 

Pemerintah cukup memperbanyak benih super genjah yang tahan kering secara in situ, sehingga terjadi percepatan peningkatan IP baik di lahan sawah maupun lahan kering. Tugas para pemulia selanjutnya adalah mengembangkan varietas tersebut dengan menambahkan gen tahan serangan organisme pengganggu tanaman. Jika itu berhasil dilakukan, maka paling tidak Indonesia dapat mengamankan pasokan pangannya secara berkelanjutan.

Oleh: Marwanti (PMHP Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)


WhatsApp


Email


Jam Pelayanan

Hari Kerja
08:00 s/d 16:00