ARAM-II Mengindikasikan Pasokan Beras Cukup
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 November 2015 mengumumkan Angka Ramalan-II (ARAM-II) tahun 2015 produksi padi 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG).
ARAM-II adalah data yang ditunggu-tunggu semua pihak kaitannya dengan isu impor beras, walaupun bukan satu-satunya sebagai parameter mengambil keputusan impor. Masih ada parameter lain seperti: stock, harga beras, konsumsi, prediksi pasokan beras awal 2016 dan lainnya.
Namun demikian, setidaknya ARAM-II dapat menggambarkan kondisi panen dan produksi yang mencerminkan pasokan beras.
Pasokan Beras Cukup
Berdasarkan data ARAM-II 2015 setelah dikurangi 7,3% gabah untuk penggunaan lain dan susut, diperoleh 69,52 juta ton gabah siap diolah menjadi beras. Selanjutnya, dengan menggunakan konversi gabah ke beras 62,74%, diperoleh produksi beras 43,61 juta ton.
Produksi beras 2015 ini lebih tinggi dari tahun 2014 sebesar 41,20 juta ini menunjukkan kondisi pasokan beras lebih baik dari tahun sebelumnya. Bagaimana besarnya konsumsi beras?
Besarnya konsumsi besar dengan menggunakan standar konsumsi 124,89 kg per kapita per tahun dan penduduk tahun 2015 sebanyak 255,46 juta jiwa diperoleh kebutuhan konsumsi beras 31,90 juta ton dan kebutuhan beras untuk penggunaan non pangan sebesar 1,45 juta ton.
Dari perhitungan ini diketahui pasokan beras 43,61 juta ton, sementara konsumsi pangan dan non pangan 33,35 juta ton, sehingga terdapat selisih lebih 10,25 juta ton.
Pasokan berlebih tersebut berada di masyarakat dalam bentuk stock yang tersebar disimpan di Bulog, pedagang pengumpul, penggilingan, grosir, koperasi, pengecer, dan supermarket. Stock beras juga ada di konsumen terdiri: rumah tangga, rumah makan, by not this site" href="https://pertaniantoday.com/2015/11/03/aram-ii-mengindikasikan-pasokan-beras-cukup/#46543074"> hotel maupun industri yang perhitungannya menggunakan survey stock.
Secara agregat pasokan beras cukup. Namun jumlah pasokan beras berfluktuasi antar musim panen dan gadu, juga berbeda antar wilayah sentra dan non sentra beras, serta faktor konektivitas antar daerah. Dengan demikian, perlu mendapat perhatian pada aspek distribusi beras.
Pasokan beras berlebih akan mengalir dari wilayah sentra ke daerah yang membutuhkan beras, diperlukan penanganan yang baik dalam sistem distribusinya. Hambatan dalam distribusi akan berakibat gangguan ketersediaan pada wilayah defisit beras.
Selanjutnya guna mencukupi stock dan cadangan pangan nasional, Bulog menyerap beras petani pada saat musim panen dan di lokasi sentra padi yang tepat. Idealnya Bulog menyerap beras petani 12% dari kebutuhan konsumsi atau sekitar 3,5 juta ton dan stock pada akhir tahun sekitar 1,5 juta ton.
Bila stock dan cadangan pangan pada Bulog mencukupi maka tidak diperlukan impor beras. Keterlambatan Bulog menyerap beras petani akan berakibat rendahnya cadangan pangan nasional.
Anomali Harga Beras di Konsumen
Industri perberasan diwarnai anomali harga di tingkat konsumen. Berdasarkan data harga beras di tingkat konsumen Januari 2011-September 2015 diketahui bahwa harga beras setiap bulan dan tahun cenderung naik walaupun pasokan berfluktuasi naik dan turun sesuai musimnya. Tidak ada korelasi antara pasokan dengan harga eceran beras.
Kondisi ini menunjukkan ada kegagalan pasar beras di tingkat konsumen. Mengatasi gejolak harga dalam kondisi pasar “gagal” ini dilakukan melalui pengendalian harga dan intervensi pemerintah sehingga menjadi pasar bersaing sempurna.
Kondisi sebaliknya terjadi pada harga gabah di tingkat produsen. Harga gabah di tingkat produsen sejalan hukum ekonomi, yaitu saat musim panen raya, harga akan turun dan sebaliknya pada musim gadu, harga terdorong naik. Untuk itu guna melindungi petani terhadap fluktuasi harga akibat panen raya telah diatasi Pemerintah dengan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Namun instrumen HPP tidak akan efektif di lapangan bila tidak diikuti dengan pembelian Bulog pada saat harga gabah petani dibawah HPP. Bahkan Bulog juga dapat mengadakan secara komersial untuk membeli beras pada saat harga di atas HPP.
Dampak yang dirugikan bila diterapkan impor beras bebas adalah petani. Akibat impor beras, maka permintaan beras lokal menurun dan harga gabah akan tertekan turun. Apabila impor berlebih, sehingga harga gabah turun misalnya Rp 500 per kg, maka petani keseluruhan akan menurun pendapatannya sebesar gabah 70 juta ton x Rp 500 per kg setara Rp 35 triliun.
Untuk menjadi negara kuat, memang dibutuhkan energi dan pangan yang kuat pula, sehingga cadangan pangan harus besar. Maka impor beras untuk dijadikan stock dan cadangan beras nasional merupakan satu alasan yang paling dapat diterima.
Jangan sampai ada anggapan bahwa cadangan beras kurang karena ketidakmampuan Bulog mencapai target menyerap beras petani. Impor dilakukan sebagai alternatif terakhir sesuai kebutuhan untuk cadangan pangan, sebab impor yang berlebihan akan menguntungkan negara lain dan merugikan petani.
Penulis:
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Dr. Ir. Suwandi, M.Si
Sumber: https://pertaniantoday.com/2015/11/03/aram-ii-mengindikasikan-pasokan-beras-cukup/
n.