Pengaruh Kadar Air dan Penyimpanan Jagung Pada Aflatoksin dalam Jagung
Penulis : Mochammad Irfan Soleh, S. Si, MP
Pendahuluan
Salah satu potensi bahaya yang banyak dijumpai pada jagung adalah kontaminasi aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillusparasiticus yang merupakan problem di seluruh dunia khususnya daerah tropis(Lillehoj 1978). Kedua kapang ini merupakan kapang tropis yang sering menyerang kacang-kacangan dan biji-bijian apabila kondisinya memungkinkan yaitu kadar air substrat dan kelembaban udara yang tinggi. Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang A. flavus. Indonesia dengan iklim tropis yang memiliki curah hujan, suhu, dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi pertumbuhan A. flavus penghasil aflatoksin, oleh karena itu kontaminasi aflatoksin di Indonesia sulit untuk dihindari (Wu et al. 2011). Aflatoksin adalah singkatan Aspergillus flavus toxin yang merupakan senyawa beracun yang diproduksi oleh Aspergillus flavus (Marwati et al. 2008).
Konsumsi aflatoksin dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker hati, serta dapat menurunkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (IARC 2002). Konsumsi aflatoksin dalam jangka panjang dapat menyebabkan kanker hati, serta dapat menurunkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit (WHO 2002).
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus flavus adalah kelembaban udara relatif, oksigen, karbondioksida, pH, kerusakan mekanik, kontaminasi, dan efek kompetitif dari kapang yang lain. Faktor-faktor tersebut banyak dialami oleh jagung, kacang tanah, kedelai, beras, dan komoditas hasil pertanian lainnya mulai saat tanam, panen, penyimpanan di gudang, maupun pada saat pengolahan (Widiastuti et al. 2008). Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah. Bagian tanaman jagung yang umumnya lebih dahulu diserang oleh kapang adalah akar, kemudian batang, daun, buah jagung dan selanjutnya 2 merambat ke bagian yang lebih dalam.
Hasil Monitoring Aflatoksin BPMPT Tahun 2016 dan 2017
Hasil monitoring terhadap 14 contoh jagung petani di Jawa Barat oleh laboratorium Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman Pasar Minggu Jakarta Selatan pada tahun 2016, 28.57 % contoh jagung mengandung aflatoksin sebesar 25.50 - 355 µg/ kg, sementara 10 sampel yang diambil dari pengumpul, 70 % memiliki kadar aflatoksin total 25.50 – 655 ppb (BPMPT 2016). Data ini menunjukkan kadar aflatoksin melebihi dari yang diperkenankan oleh SNI 7385:2009, yaitu 15 ppb (B1) dan 20 ppb (total).
Contoh jagung diambil dari gudang petani maupun pengumpul. Jumlah contoh yang diambil adalah 10 dari gudang petani dan 3 dari gudang pengumpul. Pengujian contoh dilakukan di laboratorium Balai Pengujian Mutu Produk.
Berdasarkan wawancara dengan petani tahun 2017, petani terbagi menjadi 3 kelompok (Gambar 1). Pertama, petani melakukan pengeringan jagung saat masih berkelobot (Kelompok A = 6.7%). Kedua, petani melakukan pengupasan jagung terlebih dahulu, kemudian jagung dikeringkan beserta tongkolnya (Kelompok B = 29.3%). Ketiga, petani langsung melakukan pegupasan, pemipilan dan pengeringan (Kelompok C = 64%).
Gambar 1 Alur Praktik Petani (%)
Petani kelompok A setelah pemanenan langsung melakukan pengeringan jagung dengan kelobotnya. Pengeringan jagung berkelobot menurut Asni (2015) dapat menurunkan kadar air jagung dari 25-30% pada saat panen menjadi 18%. Tahap selanjutnya petani kelompok A melakukan pengupasan dan pemipilan, kemudian langsung dijual ke pengumpul atau disimpan di gudang. Kadar air jagung pada petani kelompok ini masih cukup tinggi sehingga menjadi pontesi tumbuhnya kapang.
Petani Kelompok B setelah pemanenan langsung melakukan pengupasan jagung, kemudian jagung dikeringkan. Pengeringan jagung dengan tongkol tanpa kelobot dapat menurunkan kadar air dari saat panen menjadi 17-18% (Asni 2015). Tahapan pengeringan ini disebut tahap pengeringan awal. Jagung kemudian dipipil. Pemipilan yang ideal dilakukan pada saat kadar air jagung tidak lebih dari 18% (Asni 2015). Tahap selanjutnya dilakukan pengeringan atau tahap pengeringan akhir. Tahap pengeringan akhir dimaksudkan agar mencapai kadar air 12-14%, sehingga aman disimpan lama (Firmansyah et al. 2005). Jagung siap dijual ke pengumpul atau disimpan di gudang.
Petani Kelompok C setelah pemanenan langsung melakukan pengupasan, pemipilan dan pengeringan jagung. Tahap selanjutnya jagung dijual ke pengumpul atau disimpan dalam gudang. Pemipilan jagung pasca panen dengan kadar air yang masih tinggi atau > 20% dapat menyebabkan kerusakan biji jagung yang menyebabkan potensi tumbuhnya kapang (BBPPTP 2008).
Dari ketiga kelompok petani jagung tersebut di atas yang paling mendekati ideal adalah petani kelompok B. Tahapan yang benar adalah panen, pengupasan, pengeringan tahap awal, pemipilan, pengeringan tahap akhir, pengemasan dan penyimpanan.
Tabel 1 Kadar Aflatoksin Pada Contoh Jagung
No |
Status |
Kelom pok |
Kadar air (%)) |
Kadar aflatoksin Ppb*) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 |
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Pengumpul Pengumpul Pengumpul |
C A C B C A A A B B A C B |
12.79 11.62 23.14 12.40 12.12 33.68 12.35 12.40 13.10 12.40 13.06 13.82 19.64 |
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 8.50 Tidak terdeteksi 53.50 345.00 |
*) Keterangan: Limit deteksi fluorometer adalah 0.5 ppb
Berdasarkan Tabel 1, hanya 1 dari 10 contoh jagung mengandung aflatoksin sebesar 8.5 ppb (contoh dari Kelompok B). Secara teoritis, petani kelompok B melakukan tahapan penanganan pasca panen yang mendekati teori (pengeringan bertahap), namun hasil pengujian (Tabel 1) menunjukkan kadar air tidak berbeda dengan kelompok lain (12.40%), bahkan contoh jagung mengandung aflatoksin sebesar 8.5 ppb. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, petani melakukan pengeringan bertahap namun tidak mengukur kadar air setelah pengeringan sehingga petani tidak mengetahui kadar air pada saat penyimpanan. Kedua, kriteria pengelompokkan berdasarkan self assessment (penilaian mandiri) bukan berdasarkan pengamatan langsung terhadap praktek sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan informasi yang dikumpulkan dan berakibat pada kesalahan dalam pengelompokkan praktik pasca panennya. Ketiga, terdapat kesalahan dalam penanganan selama panen dan pasca panen. Menurut Rachmawati (2005) umumnya kontaminasi yang terjadi pada tingkat petani disebabkan oleh penanganan yang kurang tepat selama panen dan pasca panen. Kontaminasi akan semakin meningkat seiring dengan kondisi penyimpanan yang kurang tepat dan memadai.
Berdasarkan wawancara dengan pengumpul , responden pengumpul melakukan praktik pasca panen dengan 3 cara. Pertama, pengumpul menerima jagung masih berkelobot (Kelompok A = 4.8 %). Kedua, pengumpul menerima jagung kupas /jagung bertongkol tanpa kelobot (Kelompok B = 14.2%). Ketiga, pengumpul menerima jagung dalam bentuk pipil (Kelompok C = 81%). Dari semua kriteria praktik tersebut, rata-rata pengumpul mengeringkan kembali jagung yang diterima.
Gambar 2. Praktik Pasca Panen di tingkat Pengumpul
Contoh jagung pada tingkat pengumpul (monitoring tahun 2017), 2 dari 3 contoh mengandung aflatoksin yang tinggi (53.50 dan 345.00 ppb). Hal ini diduga karena ada beberapa contoh yang diperoleh petani memiliki kadar air >14% yaitu 23,14% dan 33,68% sehingga berpotensi mendukung pertumbuhan kapang pada tingkat pengumpul. Mengacu pada SNI 01-03920-1995 tentang kualitas jagung (I dan II) sebenarnya kadar air contoh jagung masih cukup baik (rata-rata ? 14 %) karena kadar air maksimal yang diperkenankan adalah 14 %. Namun demikian, menurut Kasno (2004), kadar air jagung untuk negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, idealnya berkisar antara 7-9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari 3 bulan, hal ini untuk menghindari pertumbuhan kapang pada tahap berikutnya.
Sejalan dengan monitoring tahun 2017, pada tahun 2016 data yang ada di BPMPT menunjukkan terdapat 8 dari 9 contoh jagung yang diambil dari pengumpul mengandung afltoksin dengan kandungan 5.85-405 ppb dengan rata-rata 175.7 ppb. Menurut Rahayu E 2010, survei yang dilakukan Fakultas Teknologi Pertanian UGM bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur terhadap 84 contoh jagung pada level petani dan 55 dan 29 pada level pengumpul ditemukan 30% jagung pada level petani tercemar oleh aflatoksin diatas 2 ppb dan 10% tercemar aflatoksin diatas 100 ppb dengan nilai tertinggi 470 ppb. Pada level pengumpul 45% jagung tercemar aflatoksin diatas 20 ppb, 18% diatas 100 ppb. Data tersebut menunjukkan bahwa contoh jagung pada pengumpul lebih banyak mengandung aflatoksin dibandingkan di tingkat petani. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kusumaningrum et al. 2010, hasil survei pada rantai distribusi jagung, terutama jagung pipil, menunjukkan bahwa tingkat cemaran kapang A. flavus tertinggi ditemukan di tingkat pengumpul. Kadar air adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kapang pada jagung. Peningkatan kadar air tersebut disebabkan karena kondisi penyimpanan yang tidak memadai dan waktu lama penyimpanan (Kusumaningrum et al. 2010). Oleh karena itu praktik penyimpanan yang benar pada tingkat pengumpul memiliki peranan yang sangat penting dalam pengendalian tumbuhnya kapang pada jagung.
Berdasarkan Tabel 1, tidak terdapat korelasi antara kadar air dengan kadar aflatoksin di tingkat petani. Contoh jagung yang berkadar air tinggi tidak mengandung aflatoksin, namun ada contoh jagung berkadar air rendah justru mengandung aflatoksin (8.5 ppb) walaupun kurang dari batas maksimal yang yang ditetapkan oleh SNI. Hal ini dimungkinkan karena contoh tersebut sudah terpapar kapang Aspergillus flavus sejak di pertanaman, sehingga pada saat penyimpanan di gudang aflatoksin mulai di produksi. Menurut Klich 2007, Aspergillus flavus merupakan jamur saprofit yang hidup di dalam tanah dan mampu menginfeksi komoditas penting seperti kacang tanah (gejala yellow mold), jagung (gejala ear rot) dan biji kapas sebelum dan setelah panen.
DAFTAR PUSTAKA
Asni N. 2015. Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Untuk Meningkatkan Mutu Jagung Ditingkat Petani. Infotek. Hal 1-8
[BPMPT] Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman. 2016. Laporan Hasil Pengujian. Jakarta
[BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Jagung. Seri Buku Inovasi: TP/04/2008. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 10-13.
Rahayu E. 2010. Mengatisipasi bahaya mikotoksin. Foodreview.Mhtml file//g:/riviewaflatoxin.mht.
Firmansyah IU, Aqil M, dan Sinuseng Y. 2005. Penanganan Pascapanen Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros
Kasno A. 2004. Pencegahan Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah. Litbang Pertanian. 23(3) : 75 – 81.
Kusumaningrum HD, Suliantari AD, Toha, SH Putra, AS Utami. 2010. Cemaran Aspergillus flavus dan Aflatoksin pada Rantai Distribusi Produk Pangan Berbasis Jagung dan Faktor yang Mempengaruhinya. J.Tehnol. dan Ind,ustri Pangqn, Vol. XXI No, 2 Th, 2010.
Marwati, Rahayu ES, dan Indrati R. 2008. Reduction of Aflatoxin B1 by cookingusing CaC03 solution, during enting-enting production. Agritech 28 (4) :162-166.
Rachmawati S. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia: Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya. Wartazoa 15 (1) : 26-37
[WHO] World Health Organization. 2002. IARC Monographs On The Evaluation. Vol 82. IARC Pers. France
Widiastuti R, Indraningsih, R Firmansyah. 2008. Analisis Aflatoksin Pada Jagung yang dimurnikan dengan Solid Phase Extraction dan Dideteksi secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 : 705-710, Williams, J, 2004, Top TenToxic Fungi Infested Foods, https://ezinearticles,com/? Top- Ten-Toxic-Fungi-Infested-Foods&id=102859 [30 Januari 2013]
Wu F, Bhatnagar D, Klimke TB, Carbone I, Hellmich R, Munkvold G, Paul P, Payne G, dan Takle E. 2011. Climate change impacts on mycotoxin risks in US maize. World Mycotoxin J. 4(1):79-93.