Jl. AUP No. 3 Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12520,
Provinsi DKI Jakarta

(021) 7824 669

ID EN
Logo

Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan

7

Peran GAP (Good Agriculture Practice) dan Laboratorium Pengujian Dalam Antisipasi Non Tarif Barriers

Pendahuluan

Dewasa ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibatnya persaingan pun semakin tajam. Dunia bisnis sebagai salah satu bagiannya juga mengalami hal yang sama. Perusahaan-perusahaan yang dulu bersaing hanya pada tingkat lokal atau regional, kini harus pula bersaing dengan perusahaan dari seluruh dunia. Hanya perusahaan yang mampu menghasilkan barang atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat bersaing dalam pasar global.

Demikian juga halnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi pangan olahan atau pangan segar (pertanian, peternakan dan perikanan), apabila ingin memiliki keunggulan dalam skala global, maka perusahaan-perusahaan tersebut harus mampu menghasilkan produk pangan berkualitas tinggi dengan harga yang wajar dan bersaing, serta aman untuk dikonsumsi (dibuktikan dengan sertifikat hasil uji yang menunjukkan produk aman untuk dikonsumsi sesuai yang dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor).

Selain alasan keamanan pangan, industri pangan baik segar maupun olahan perlu memperhatikan pemberlakuan liberalisasi dalam perdagangan dimana negara-negara anggota WTO sepakat untuk menurunkan bea masuk terhadap produk-produk impor yang masuk ke negara mereka bahkan meniadakan bea masuk sampai dengan nol persen. Namun ini ternyata tidak menghapus hambatan dalam perdagangan internasional dan memberikan kelancaran arus barang di antara negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan masing-masing negara anggota WTO masih berupaya melindungi pasar dalam negerinya dan menghindari persaingan dengan produk impor. Upaya perlindungan tersebut diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan baru yang justru menjadi hambatan perdagangan baru (Kementerian Perdagangan, 2012).

Dalam perdagangan internasional, hambatan perdagangan dibagi menjadi dua yaitu hambatan yang berupa tarif (tariff barriers) dan non-tarif (non-tariffbarriers). Adanya batasan tarif yangdiberlakukan dalam perdagangan menyebabkan banyak negara melakukan tindakan/kebijakan non-tarif. Salah satu tujuan dari kebijakan non-tarif atau non-tariff measures adalah sebagai proteksi pada produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Penerapan non-tarif barrierini akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan, sehingga akan mengurangi volume perdagangan serta akan menimbulkan potensial ekspor yang hilang (ITC 2012 dalam Sari et al,2014).

Hasil perundingan GATT di Urugay menyepakati jenis-jenis hambatan nontarif yang menjadi masalah dalam perdagangan internasional, di antaranya:

 

  1. Kuota Impor

Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu. Hambatan non-tarif ini sering digunakan untuk melindungi neraca pembayaran suatu negara. Misalnya di negara maju digunakan untuk melindungi sektor pertanian dan di negara berkembang untuk melindungi sektor manufakturnya. Adanya pemberlakuan tersebut akan berdampak pada keseimbangan perdagangan suatu negara.

 

  1. Subsidi Ekspor

Bentuk subsidi ekspor yang diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan ekspor. Bentuk subsidi tersebut dapat dalam bentuk pinjaman ekspor.

 

  1. Hambatan birokrasi

Pada praktek perdagangan internasional, terkadang pemerintah suatu negara ingin membatasi impor tanpa mengumumkan secara formal. Pemerintah suatu negara memberlakukan pengetatan terhadap standar kesehatan, keamanan dan prosedur pabeanan sehingga menjadi hambatan yang sangat penting dalam perdagangan. Cara tersebut terkadang cukup efisien untuk mengurangi impor suatu barang dari negara lain.

 

  1. Kartel Internasional

Kartel dibentuk sebagai sebuah organisasi produsen tertentu yang anggotanya terdiri dari beberapa negara. Pembentukan kartel bertujuan untuk membatasi output dan mengendalikan kegiatan ekspor sehingga dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungan bagi negara-negara tertentu. Praktek ini menjadi merugikan bagi negara konsumen karena harus membeli produk yang terbatas dengan harga relatif mahal.

 

  1. Tindakan Anti-Dumping

Tindakan ini merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah di suatu negara sebagai tanggapan terhadap adanya keluhan atau pengaduan dari produsen domestiknya yang disebabkan karena perusahaan asing tertentu menjual komoditinya dengan harga dibawah pasar produksi atau lebih murah dibanding harga jual di pasar negara asalnya. Dumping secara umum diartikan sebagai diskrimasi harga secara internasional. Keadaan tersebut terjadi ketika harga produk atau komoditi yang dijual dinegara importir lebih rendah

dibandingkan harga produk atau komoditi dipasar domestik negara eksportir. Adanya dumping dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor. Alasannya tidak selamanya negara pengekspor akan memberikan harga murah pada negara tujuan ekspor. Setelah negara tujuan ekspor terlanjur bergantung pada negara pengeskpor, maka negara perngekspor akan menaikkan harga produk atau komoditinya. Hal ini yang menyebabkan kerugian pada negara tujuan ekspor sehingga kebijakan dumping pada perdagangan menjadi sesuatu hal yang dilarang.

 

  1. Sanitasi dan Fitosanitasi

Ukuran hambatan non-tarif lainnya yang menjadi sorotan dalam perjanjianGATT/WTO yaitu peraturan pemerintah suatu negara dalam menjaga keamanan pangan, kesehatan hewan dan tumbuhan (sanitary and phyosanitary). Tujuan adanya larangan ini adalah untuk melindungi hak-hak konsumen akan produk yangdikonsumsi dan juga untuk melindungi produk-produk yang dihasilkan olehprodusen domestik. Pada hakekatnya, ukuran standar kualitas yang tinggi produkdari suatu negara menjadi pendorong bagi negara lain untuk memperbaiki kualitasproduknya sehingga tetap mampu bersaing di negara tujuan ekspornya (Sari, 2014).

Selama tahun 2002-2010, Indonesia mengalami kasus penolakan di Amerika Serikat sebanyak 2608 kasus penolakan produk pangan selain produk obat-obatan dan jamu herbal. Setiap tahunnya terjadi lebih dari 200 kasus penolakan produk pangan Indonesia di Amerika Serikat oleh US-FDA dengan rata-rata tiap tahun terjadi 289 kasus penolakan.

Produk pangan yang teridentifikasi berbahaya dan menerima notification oleh Europa- RASFF pada tahun 2011 dominan disebabkan oleh tercemar oleh logam berat (merkuri) dan cadmium, serta mengandung mikroorganisme seperti aflatoxin, Salmonella spp., vibrio spp.; mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh serta perlakuan pada proses produksi yang tidak sesuai.

 

  1. Standar Lingkungan

Isu standar lingkungan yang semakin gencar dibahas dan telah diberlakukan oleh negara negara maju berdampak pada perdagangan negara-negara berkembang.Standar lingkungan yang diberlakukan di negara-negara maju dikhawatirkaanmenjadi hambatan perdagangan tersendiri bagi negara-negara berkembangkhususnya pengaruhnya terhadap kinerja ekspor. Sementara bagi negara majustandar lingkungan tersebut seringkali digunakan untuk tujuan tidak langsung yaituuntuk melindungi industri-industri dalam negerinya (Verbruggen et al., 1995).

 

Antisipasi Non Tarif Barrier

Dalam mengantisipasi Non Tarif Barriers, Pemerintah dan Stake holder perlu mempersiapkan pelaku-pelaku usaha agar usaha perdagangan khususnya di bidang pertanian dapat diterima di dunia internasional. Isu-isu dominan yang akan menghambat biasanya seputar  sanitasi, fitosanitasi, lingkungan, dan keamanan pangan melalui peraturan-peraturan dalam negeri tujuan ekspor.

Agar produk pangan segar yang dihasilkan berkualitas dan aman untuk dikonsumsi maka Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan, di antaranya :

  1. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Bab III pasal 3.
  2. Peraturan Menteri Pertanian No.48/Permentan/OT.140/11/2006 tentang pedoman budidaya tanaman pangan yang baik.
  3. Peraturan Menteri Pertanian No.61/Permentan/OT.140/10/2009 tentang pedoman

budidaya buah dan sayur yang baik.

Dari ketiga peraturan di atas dibuatlah suatu GAP (Good Agricultural Practices) cara budidaya tanaman yang baik yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan pangan, keberlanjutan lingkungan, kesehatan dan keamanan pekerja dan meningkatkan kesejahtraan petani, dan tujuan –tujuan lain di antaranya :

  1. Meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman.
  2. Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi.
  3. Meningkatkan efisiensi produksi.
  4. Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam.
  5. Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan.
  6. Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mentalyang bertanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatandan keamanan diri dan lingkungan.
  7. Meningkatkan daya saing dan peluang penerimaan oleh pasar internasional dan domestik.
  8. Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen danmeningkatkan kesejahteraan petani.

Setelah memproduksi pangan yang berkualitas dan aman, produk tersebut harus mendapatkan jaminan mutu dan keamanan dari Laboratorium Pengujian yang telah terakreditasi. Mutu merupakan kekuatan pokok produk industri yang menentukan kesanggupan dan ketangguhannya untuk menghadapi makin kerasnya persaingan antara sesama produsen dan makin meningkatnya tuntutan konsumen. Untuk menjaga dan meningkatnya mutu produk industri, diperlukan peranan pengukuran, standardisasi, pengujian dan jaminan mutu (MSTQ – Measurement, Standardization,Testing, and Quality). Peran pengukuran melalui kalibrasi, standardisasi dan pengujian, dan untuk jaminan mutu diperlukan sistem penilaian kesesuaian yang mencakup kemampuan teknis dan manajemen.

Menghadapi kenaikan permintaan akan produkyang berkualitas dalam pasar internasional, diperlukan dukungan MSTQ yang efektif. Demi menjamin mutu, produsenmemerlukan suatu laboratorium yang mempunyai tenaga kerja yang kompeten untuk mengerjakan pengendalian mutu dan pengujian di pabriknya. Dengan adanya ISO/IEC Guide 25 yang telah diperbaharui menjadi ISO/IEC 17025 yang selaras dengan ISO 9000, yaitu tentang kompetensi yang harus dipatuhi olehlaboratorium penguji dan laboratorium kalibrasi,kegiatan pengukuran dan pengujian menjadi lebih terarah dan sistemnya dapat diakui secara internasional. Dalam ISO/IEC 17025 ini dijelaskan bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh suatu laboratorium harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: mempunyai personel yang kompeten, akomodasi dan kondisi lingkungan yang memadai, metode pengujian atau metode kalibrasi yang didokumentasikan dan divalidasi, peralatan dan/atau standar/bahan acuan yang memadai dan tertelusur, pengambilan sampel dan penanganan sampel uji atau barang yang dikalibrasi secara benar. Tentu saja semua hal di atas tidak dapat menjamin bahwa 100% produk sesuai persyaratan, karena kesalahan acak dan sistematik selalu ada (yang kemudian dikuantifikasi dalam bentuk ketidakpastian), danjuga kemungkinan terjadinya kekeliruan lainnya.

 

Daftar Pustaka

 

Europa. FAQ: Rapid Alert System for Food and Feed: Role and Achievements. Website. https://europa.eu/rapid/pressReleasesAction/default.html. (2 Mei 2011)

Europa. RASFF Portal. Website. https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window/portal. (2 Mei 2011)

Europa. Annual Report 2009.  Website.https://ec.europa.eu/food/food/rapidalert/docs/report2009en.pdf. (23 Mei 2011])

Sari, T.A., Atmodjo, W. & Zuraida, R. (2014). Studibahan organik total sedimen dasar laut diperairan Nabire, Teluk Cendrawasih, Papua.Jurnal Oseanografi, 3(1): 81-86.

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 13/M-DAG/PER/3/2012. TENTANG. KETENTUAN UMUM DI BIDANG EKSPOR.

  1. Verbruggen et al, 1996. Duurzame Economische Ontwikkelingsscenarios voorNederland in 2030. "Environmental Strategy" publication series, Directorate General for Environmental Management, Ministry of Public Housing, Spatial Planning &Environment, The Hague.

 

Penulis adalah Mochammad Irfan Soleh, S. Si, MP Ahli Muda Pengawas Mutu Hasil Pertanian

WhatsApp


Email


Jam Pelayanan

Hari Kerja
08:00 s/d 16:00