MENGENAL VIRUS KERDIL RUMPUT DAN KERDIL HAMPA SERTA UPAYA PENGENDALIANNYA
Perubahan iklim global yang terjadi dewasa ini berpengaruh terhadap peningkatan serangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Pemanasan global diketahui berkontribusi terhadap ledakan wereng batang coklat (WBC) di beberapa wilayah di Asia. Di Indonesia, tingkat keparahannya cenderung meningkat pada kondisi perubahan iklim yang ekstrim. Factor lain yang mempengaruhi perkembangan WBC di lapangan antara lain adalah aplikasi insektisida dengan tidak bijaksana karena menimbulkan efek merugikan terhadap musuh alami. Penggunaan pupuk nitrogen dosis tinggi, terutama pada padi hibrida, juga menjadi salah satu pemicu peningkatan populasi WBC.
Wereng batang coklat (WBC) merupakan salah satu hama utama tanaman padi yang secara langsung merusak tanaman dengan menghisap cairan tanaman yang menyebabkan tanaman kering dan mati dan secara tidak langsung menjadi vector penyebaran penyakit virus kerdil rumput (Rice grassy stunt virus), dan kerdil hampa (Rice ragged stunt virus). Penyebaran penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa dapat diminimalisasi dengan cara pengendalian vektornya dengan penerapan teknologi pengendalian secara terpadu.
Tanaman padi yang terinfeksi virus kerdil rumput dan kerdil hampa menunjukkan beberapa gejala yang khas. Gejala kerdil rumput ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang terhambat atau kerdil, akan tetapi mempunyai anakan yang banyak (rumpun yang sangat rimbun), daunnya pendek dan sempit, batang tumbuh tegak dan kaku, berwarna hijau pucat atau kuning pucat. Pada daun yang bergejala sering ditemui bitnik-bintik atau bercak coklat tua, tetapi gejala ini tidak dijumpai dan daunnya tetap hijau bila diberi pupuk nitrogen yang cukup (BBPadi., 2017).
Pertumbuhan tanaman yang terhambat juga terjadi pada tanaman terinfeksi virus kedil hampa. Daun tanaman menjadi berwarna hijau gelap, tepi daun tidak rata, berlekuk-lekuk atau sobek-sobek dengan ujung daun terpilin dan terjadi pembengkakan pada tulang daun. Tanaman stadia berbunga yang terinfeksi virus menunjukkan gejala daun atas dan daun bendera melintir, malai tidak keluar atau keluar sebagian dan biasanya malainya hampa.
Penularan virus RGSV dan RRSV tidak dapat menular secara mekanik, melalui biji atau melalui mikroorganisme dalam tanah tetapi hanya dapat ditularkan oleh WBC. Hubungan virus dengan vektornya adalah secara persisten. Virus RGSV memiliki periode akuisasi terpendek 30 menit dan periode laten dalam serangga antara 5 sampai 28 hari, sedangkan periode inkubasi dalam tanaman antara 10 sampai 19 hari. Virus kerdil hampa (RRSV) periode makan akuisisi terpendek kurang lebih 8 jam, dan periode laten rata-rata 9 hari. Penularan virus adalah transstadial tetapi tidak transovarial. Periode inkubasi dalam tanaman 2 sampai 3 minggu. Lama hidup rata-rata wereng coklat yang mengandung virus adalah 16.1 hari, lebih pendek bila dibandingkan dengan serangga bebas virus 20.4 hari (Suseno. 2017).
Perkembangan penyakit virus KR dan KH berdasarkan laporan yang disampaikan oleh POPT menunjukkan penurunan luas serangan sejak tahun 2018 hingga periode laporan bulan Juni tahun 2022. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan upaya-upaya pengendalian secara terpadu melalui kegiatan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan yang dikawal oleh BPTPH dan POPT di setiap Provinsi.
Upaya pengendalian wereng batang coklat (vector virus) yang dilaksanakan melalui kebijakan dan kegiatan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, antara lain yaitu Gerakan pengendalian WBC tahun 2021 dengan luas pengendalain mencapai 34.704 ha, Gerakan pengendalian yang dilakukan secara swadaya oleh petani mencapai 5.952 ha, bantuan gerkana pengendalian dari kementerian pertanian mencapai 1.427 ha. Kegiatan Gerakan pengendalian WBC tersebut dimaksudkan untuk menekan perkembangan dan peningkatan populasi WBC yang merupakan vector dari virus kerdil rumput dan kerdil hampa. Kegiatan lain yang dilaksanakan dalam rangka menekan perkembangan WBC adalah PPHT padi, Pengembangan agens pengendali hayati (APH) di 108 LPHP seluruh Indonesia, Demplot Area Budidaya Tanaman Sehat (BTS) dan Pemberdayaan petani dalam pemasyarakatn PHT (P4). Upaya pengendalian yang dilakukan adalah secara preemtif dengan menggunakan berbagai agens pengendali hayati yang diperbanyak oleh LPHP dan keleompok-kelompok tani. Upaya yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan diarahkan pada pemanfaatan sumber daya hayati dan nabati untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Pengelolaan penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa dimulai dari pengelolaan vector pembawanya yaitu wereng batang coklat. Pengendalian WBC dilaksanakan dengan menerapkan konsep PHT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan menuju pertanian berkelanjutan. Taktik PHT dalam pengelolaan WBC yang dapat dilakukan antara lain;
1. Dilakukan pengendalian WBC, terutama yang bersayap sampai populasinya serendah mungkin.
2. Pengelolaan agroekosistem melalui penerapan budidaya tanaman sehat yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kurang sesuai bagi perkembangbiakan WBC, antara lain dengan menggunakan varietas tahan atau toleran yang dihasilkan oleh Lembaga penelitian seperti Badan Litbang. Pergiliran varietas antar musim tanam juga perlu dilakukan. Misalnya varietas tahan di tanam pada saat musim hujan dan varietas toleran di tanam pada saat akhir musim hujan.
3. Pemasangan lampu perangkap: sangat berguna untuk memantau kehadiran wereng coklat yang bermigrasi dari wilayah lain atau dari pertanaman sekitarnya yang terserang WBC. Lampu perangkap dipasang di area pertanaman pada ketinggian 100 – 250 cm dari permukaan tanah. Pemasangan lampu perangkap, selain berguna untuk memantau perkembangan dan migrasi WBC, juga dapat sebagai salah satu cara pengendalian secara mekanik. Dalam semalam, lampu dapat memeraangkap WBC hingga 400 ribu ekor (tergantung kepadatan populasi). (Balai Besar Penelitian Padi., 2017).
4. Tanam padi secara serentak dan mengubah Pola tanam: tanam serempak mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu berkembang biak wereng. Tanaman serempak dianjurkan minimal dalam luasan 20 ha berdasarakan gradasi penyebaran penyakit dari satu sumber inoculum.
5. Memutus sumber penyakit; sumber inoculum penyakit atau tanaman yang terinfeksi virus dimusnahkan atau dihilangkan melalui sanitasi lahan atau eradikasi. Diperlukan tindakan pemusnahan residu atau sisa tanaman yang terinfeksi virus yang berpotensi menjadi sumber inoculum. Pemusnahan sumber inoculum ini dapat dilakukan dengan cara mencabut dan membenankan tanaman yang terserang kerdil rumput dan kerdil hampa.
6. Mengatur Jarak tanam: pengaturan jarak tanam, misalnya dengan penggunaan system jajar legowo dapat mengurangi tingkat kelembaban disekitar tanaman sehingga diharapkan dapat menghambat peningkatan populasi WBC. Selain itu, penggunaan system jajar legowo juga akan memudahkan dalam Tindakan pengendalian WBC.
7. Pengamatan Populasi WBC di lapangan; Lakukan pemantauan populasi WBC 1 – 2 minggu sekali. Ambil contoh 20 rumpun padi secara diagonal, lalu hitung jumlah wereng dan juga musuh alami wereng.
8. Tuntaskan Pengendalian Generasi Pertama; puncak populasi wereng imigran merupakan generasi nol. Setiap 25 – 30 hari kemudian, akan terjadi perubahan generasi, dari generasi nol menjadi generasi pertama, dan 25 – 30 hari berikutnya akan menjadi generasi ke dua, demikian seterusnya. Waktu pengendalian yang tepat yaitu pada saat ada wereng imigran generasi nol dan saat nimfa-nimfa generasi satu muncul dari generasi nol.
9. Pengendalian menggunakan Agens hayati atau pestisida nabati; pengendalian menggunakan APH dilakukan secara preemtif atau sifatnya pencegahan. Dilakukan aplikasi cendawan entomopatogen Metarizium sp atau Beauveria bassiana atau dengan aplikasi pestisida nabati berbahan aktif azadirachtin atau bahan lainnya yang efektif mengendalikan WBC.
10. Pengendalian secara Kimia menggunakan Insektisida; pengendalian menggunakan insektisida kimia dilakukan apabila populasi dan intensitas serangan sudah melebihi ambang ekonomi. Dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturaan yang berlaku.
(Kontributor : Dr. Tuminem, S.P., M.Si.)