MENGAPA DISPARITAS PRODUKSI PADI NASIONAL SANGAT TINGGI?
Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tahun 2008-2021 menunjukkan bahwa produktivitas padi di lapangan minimal 8 ton/hektar. Sementara itu produktivitas padi rata rata nasional Tahun 2021 baru mencapai 54,42 ton/hektar. Artinya ada senjang (gap) yang sangat lebar sebesar 2.8 ton. Bahkan berdasarkan data potensi produksi pada pelepasan varietas baru ada yang mencapai 9 ton/hektar. Pertanyaan fundamentalnya adalah, mengapa senjang hasil penelitian dibandingkan data rata-rata produktivitas nasional sangat lebar, bahkan semakin lebar? Cara yang paling operasional untuk mengatasi senjang tersebut adalah dengan meningkatkan produktivitas dan indeks pertanaman. Celakanya, berdasarkan data BPS (2021), justru produktivitas dan indeks pertanaman padi nasional mengalami penurunan secara simultan. Selanjutnya BPS (2021) luas panen padi 2021 mencapai 10,41 juta hektar mengalami penurunan sebesar 245,47 ribu hektar (Indek pertanaman turun 2,30%) dibandingkan Tahun 2020 seluas 10,66 juta hektar. Demikian halnya, produktivitas padi 2021 hanya mencapai 54,42 kuintal turun 0,43% dibandingkan produktivitas padi tahun 2020 sebesar 54,65 kuintal/hektar. Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka terjawab paling tidak mengapa senjang produktivitas bukan makin kecil tapi justru sebaliknya semakin melebar.
Paling tidak ada dua argumen mendasar mengapa senjang produksi makin besar: (a) faktor pembatas produktivitas belum dapat diturunkan secara signifikan (b) Kerangka Sampling Area masih jauh dibandingkan kondisi rielnya. Faktor pembatas yang paling dominan di lapangan antara lain, akses/keterjangkauan dan daya beli pupuk bersubsidi (accessible dan affordable) terus menurun akibat menurunnya volume pupuk bersubsidi akibat naiknya harga bahan baku pupuk bersubsidi yang diimpor, dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi meningkat akibat harga padi saat panen raya umumnya jatuh. Faktor lainnya antara lain ketersediaan air di musim kemarau yang semakin meningkat intensitas, frekuensi dan durasinya, sehingga besaran (magnitude) kekeringan dan dampaknya menurunkan produktivitas dan indek pertanaman. Penggunaan varietas unggul dan bermutu juga masih rendah, sehingga potensi produktivitas padi yang dihasilkan tidak optimal. Belum lagi tingginya serangan organisme pengganggu tanaman terutama wereng, sundep dan beluk serta tikus yang masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya.
Faktor berikutnya adalah KSA yang masih belum mewakili kondisi lapangannya, karena keterbatasan data, sehingga tidak mampu menampilkan profuktivitas dan indeks pertanaman yang lebih representative. Keterbatasan citra satelit dalam meliput areal persawahan yang berawan, berlereng terjal tingkat akurasinya lebih rendah. Diperlukan peta tanah detail agar keragaman lahan dan iklim dapat direpresentasikan secara utuh.
Lalu bagaimana mempersempit senjang produktivitas secara operasional di lapangan. Jika produktivitas rata rata nasional naik dari 54,42 kuintal/hektar (BPS, 2021) menjadi 57,00 kuintal/hektar, dengan luas baku sawah 7,463 948 hektar (ATRBPN, 2020), indek pertanaman 1,6, maka terjadi lonjakan produksi padi nasional sebesar 3. 081. 117 ton. Lalu bagaimana caranya meningkatkan produktivitas padi nasional?
Secara praktikal produktivitas dapat dilakukan melalui pemetaan produktivitas rata-rata kalurahan. Apabila faktor pembatas setempat dapat direduksi dan dibangkitkan (generate) secara nasional, maka delta peningkatan produktivitas padi nasional dapat dikomputasi. Oleh karena sumber pembiayaan negara terbatas, maka program penurunan senjang produktivitas dipilih yang biayanya murah, hasilnya cepat dengan peningkatan produktivitasnya tinggi. Menu peningkatan produktivitas dapat disediakan misalnya: pupuk bersubsidi, penyediaan air irigasi, bantuan benih unggul bersertifikat. Penyuluh lapangan dapat menyampaikan skenario peningkatan produktivitas atas menu yang dipilih.
Oleh: Marwanti (PMPH Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)