Trichoderma spp., Sebagai Agens Biokontrol Penyakit Utama pada Tanaman Padi
Salah satu penyakit utama pada tanaman padi adalah hawar daun bakteri yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae yang dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai panen. Terdapat dua macam gejala hawar daun bakteri, yaitu gejala yang terjadi pada tanaman berumur kurang dari 30 hst, disebut kresek dan gejala yang timbul pada tanaman stadia anakan sampai pematangan bulir disebut sebagai hawar (blight). Gejala serangan hawar daun pada tanaman muda (kresek) dan stadia anakan dimulai dari tepi daun, berwarna keabu-abuan dan lama-lama daun menjadi kering. Kehilangan hasil akibat penyakit ini dapat mencapai 50 – 70%. Berdasarkan potensi kehilangan hasil tersebut, maka upaya pengendalian penyakit kresek harus dilaksanakan sedini mungkin atau dilakukan secara pre-emtif sehingga tidak menyebabkan kehilangan hasil panen.
Pengendalian yang dianjurkan adalah dilakukan secara pre-emtif dengan menggunakan bahan pengendali ramah lingkungan. Pengendalian menggunakan agens hayati merupakan salah satu alternatif yang dikembangkan dalam rangka pengamanan produksi padi dari gangguan OPT. Agens pengendali hayati yang memiliki potensi untuk pengendalian penyakit kresek diantaranya adalah Trichoderma sp.,
Trichoderma spp merupakan spesies cendawan antagonis yang umum dijumpai di dalam tanah, khusunya dalam tanah yang subur atau terjadi pelapukan bahan-bahan organic. Cendawan Trichodema sp., mudah untuk dilakukan eksplorasi dengan berbagai metode seperti pengenceran atau dengan metode “bait” atau dipancing. Sebanyak 120 kelompok tani dalam kegiatan Pemberdayaan petani dalam pemasyarakatan PHT (P4) pada tahun 2021 telah berhasil melakukan eksplorasi, isolasi purifikasi dan seleksi cendawan Trichoderma sp., di wilayah masing-masing (tersebar di 12 Provinsi). Pada tahun 2022, jumlah kelompok tani yang dapat menghasilkan agens hayati spesifik lokasi terutama Trichoderma sp., bertambah jumlahnya menjadi 270 kelompok tani tersebar di 14 Provinsi. Berdasarkan hasil identifikasi morfologi oleh Laboratorium BBPOPT Jatisari, Trichoderma yang dihasilkan terdiri dari berbagai spesies antara lain Trichoderma harzianum, Trichoderma asperelum, dan Trichoderma sp. Wilayah yang berbeda didominasi oleh spesies Trichoderma yang berbeda. Hal tersebut menujukkan keragaman Trichoderma spesifik lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati di wilayah masing-masing.
Trichoderma spp., diketahui memiliki berbagai “mode of action” sebagai agens biocontrol, pemacu pertumbuhan, biodekomposer dan bioremediasi tanah-tanah tercemar. Trichoderma spp., sebagai agens biocontrol penyakit kresek pada tanaman padi, melalui mekanisme langsung seperti hiperparasitisme, antibiosis dan kompetisi nutrisi dan mekanisme tidak langsung seperti induksi ketahanan tanaman, memacu pertumbuhan dengan meningkatkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro.
Mekanisme langsung Trichoderma spp dalam menekan perkembangan penyakit kresek melalui mekanisme antibiosis. Antibiosis merupakan mekanisme cendawan antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan patogen dengan menghasilkan metabolit sekunder yang dilepaskan ke lingkungannya, yang didalamnya termasuk komponen antibiotic dan sistem enzim ekstraseluler yang merusak patogen. Pengujian secara invitro dengan metode “dual culture “menunjukkan Trichoderma sp menghambat perkembangan bakteri Xoo dengan membentuk zona hambat (ditandai dengan terbentuknya zona bening) disekitar koloni cendawan (Shoba et. Al., 2020).
Terbentuknya zona hambat pada media padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme antibiosis. Mekanisme antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun (toksin) atau enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh cendawan antagonis (Well., 1988).
Trichoderma spp., merupakan cendawan antagonis yang dapat menghasilkan antibiotika yang kuat, antara lain trichodermin yang merupakan suatu senyawa sesquiterpene (Tijerino et. al., 2011), gliotoksin (yang merupakan antibiotika yang berperan penting sebagai agens pengendali hayati pathogen tanaman, (Howell., 2006). Dermadin merupakan antibiotika lainnya yang dihasilkan oleh Trichoderma sp., yang merupakan suatu asam tak jenuh, aktif sebagai agens pengendali cendawan dan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Metabolit sekunder bersifat antibiotika lainnya yang juga dihasilkan oleh Trichoderma spp., adalah Suzukacilin dan Alamethicine yang diketahui sebagai peptida anticendawan dan antibakteri (Meyer dan Rousser., 1967).
Perendaman benih padi dalam suspensi Trichoderma sp., pada kerapatan 103 cfu/ml air selama 6 jam, secara signifikan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan menurunkan keparahan penyakit hawar daun bakteri (Sandy et.al., 2019). Keparahan penyakit hawar daun bakteri lebih rendah pada tanaman padi yang diberi perlakukan Trichoderma sp., menunjukkan bahwa Trichoderma sp. dapat menekan perkembangan pathogen dan menurunkan keparahan penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xoo. Tanaman padi yang diberi perlakuan Trichoderma sp., lebih tahan terhadap hawar daun bakteri dan menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik seperti memiliki perakaran yang lebih panjang dan pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kontrol.
Mekanisme tidak langsung Trichoderma sp. dalam menekan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh Xoo antara lain melalui mekanisme induksi ketahanan tanaman. Ketahan terinduksi didefenisikan sebagai peningkatan ekspresi dan atau stimulasi pertahanan alami yang dimiliki tanaman oleh agens biotik maupun abiotik maupun untuk menangkal serangan pathogen (Ryals et.al. 1994; Edvera 2004). Ketahan terinduksi berasal dari ketahanan alami yang dimiliki tanaman, namun masih bersifat laten, lemah bahkan tidak muncul dan akan terekspresi jika ada aksi dari agens penginduksi. Agens penginduksi disebut juga elisitor atau inducer merupakan molekul yang mampu menstimulasi dan mengaktifkan respon ketahanan tanaman. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Trichoderma spp. dapat menjadi elisitor yang berfungsi dalam ketahanan tanaman terhadap serangan organisme pengganggu tumbuhan (Vinale et. al. 2014). Hal yang sama dikemukakan oleh Halman et. al. (2004) bahwa Trichoderma spp. merupakan cendawan yang dapat memproduksi berbagai macam senyawa yang dapat menginduksi resistensi tanaman secara lokal dan sistemik terhadap serangan penyakit tanaman dan juga terhadap keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan.
Mekanisme induksi resistensi dari Trichoderma terjadi melalui kontak antara spora atau struktur propagative dari cendawan pada permukaan akar. Struktur yang telah melekat pada permukaan akar tanaman akan menghasilkan sedikitnya tiga substansi kimia yang mampu meningkatkan pertahanan tanaman seperti peptide, protein dan senyawa kimia berbobot molekul rendah. Induksi resistensi ini dapat terjadi melalui dua cara yaitu produksi secara langsung pathogenesis-related (PR) protein serta fitoaleksin sebagai akibat serangan mikroorganisme patogenik ( Heil & Bostock, 2002).
Kontributor : Tuminem (POPT Ahli Madya)