MERESPON MAHALNYA BAHAN BAKU DAN HARGA PUPUK
Dampak COVID 19 terhadap turbulensi pasokan dan melambungnya harga bahan baku pupuk baik gas alam (bahan baku urea), phosfat alam dan KCl (bahan baku NPK). Pasokan dan harga bahan baku yang melambung ini diperparah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina. Kita tahu bahwa kedua negara tersebut merupakan produsen bahan baku pupuk dan pupuk no 2-3 dunia. Implikasinya, magnitude guncangan pasokan dalam bentuk shortage/kelangkaan maupun harga semakin mencemaskan. Pemerintah melalui Permentan nomor 10 Tahun 2022 merespon dengan membatasi jenis pupuk subsidi dan jumlah komoditas yang bisa memperoleh pupuk bersubsidi dari 72 komoditas menjadi 9 komoditas. Pupuk subsidi yang semula 6 (enam) jenis menjadi 2 (dua) jenis saja yaitu urea dan NPK. Pertanyaannya, jika alokasi pupuk bersubsidi selama ini hanya menjangkau 58%, lalu yang 32% apakah dipupuk dengan pupuk non subsidi? Komoditas lainnya sebanyak 63 yang tidak berhak mendapatkan pupuk subsidi lagi, dipupuk pakai pupuk apa? Kemana mereka mencari pupuk non subsidi? Kita tahu, meskipun pemerintah menyatakan bahwa tersedia pupuk non subsidi, tetapi faktanya tidak mudah untuk memperolehnya terutama saat puncak penggunaan utamanya saat tanam. Ada dua implikasi yang harus diperhitungkan pemerintah agar kinerja sektor pertanian tidak tergerus oleh dinamika pasokan bahan baku dan harga pupuk. Pertama, produktivitas pertanian nasional akan tergerus, kedua, petani akan mengalihfungsikan lahannya untuk sektor yang lebih kompetitif, sehingga terjadi penciutan luas areal pertanian produktif.
Mempertahankan Produktivitas Pertanian Nasional
Merespon kemungkinan penurunan produktivitas akibat penurunan alokasi pupuk bersubsidi dan mahalnya harga pupuk non subsidi, maka pemerintah perlu melakukan exit strategi dengan mengembangkan dua hal: (a) mengembangkan pupuk berbahan baku setempat dan (b) mengembangkan budidaya yang responsive terhadap penambatan N, pelarutan P dan K. Pupuk berbahan baku lokal dipastikan harganya terjangkau, seperti pupuk guano, rock phosphate, pupuk kandang dan pupuk organic. Pemerintah harus secepatnya mendayagunakan sampah organic menjadi pupuk organik yang berkualitas. Cara praktikalnya dengan memisah dan memilah bahan organik dan non organik pada tempat pembuangan sampah. Teknologi dekomposisi yang baik, pengembangan mikroba unggul dalam dekomposisi bahan organic menjadi pilihan yang menjanjikan. Selain berbiaya murah juga sangat cepat perbanyakannya. Pupuk berbahan baku setempat harus dilarang untuk diekspor apapun alasannya. Hal yang sama dilakukan China merespon kelangkaan bahan baku pupuk dan mahalnya harga pupuk. China melakukan penghentian total ekspor bahan baku dan pupuk karena berdasarkan prediksi mereka, masalah kelangkaan akan semakin parah dengan durasi makin lama. Pemerintah China memprediksi bahwa perang Rusia versus Ukraina masih akan berlangsung lama, sehingga turbulensi bahan baku dan harga pupuk diprediksi akan berlangsung lama dan tidak tahu kapan akan berakhir. Menggunakan bahan baku pupuk setempat dan mengoptimalkan pengelolaan bahan organik in situ, maka masalah mahalnya harga bahan baku pupuk dan harga pupuk dapat termitigasi.
Selanjutnya pemerintah juga perlu menerapkan budidaya pertanian yang mampu menambah pupuk N secara alamiah, maupun merelease hara Posfor dan Kalium menggunakan bakteri pelarut P dan K. Artinya pemerintah dapat menambang kembali hara P dan K yang selama ini diikat oleh partikel lempung tanah untuk dimanfaatkan kembali dengan bantuan bakteri. Petani seakan membuka cadangan pupuk P dan K yang selama ini terfiksasi oleh tanah. Teknologi bakteri pelarut P dan K sudah sangat berkembang, sehingga apabila pendekatan ini digarap dengan serius, maka masalah pupuk akan berkurang dampaknya terhadap produktivitas pertanian. Jika penggunaan bahan baku pupuk lokal diintensifkan didukung dengan pengelolaan bahan organik yang baik, maka selain menghemat devisa, pemerintah bisa melakukan remidiasi tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah berbasis kekuatan sumber pupuk in situ.
Meredam Alih Fungsi Lahan Sawah
Produktivitas lahan yang terus menurun akibat ketersediaan air utamanya musim gadu dan mahalnya harga pupuk akan menggerus pendapatan usaha tani petani. Implikasinya kesejahteraan petani akan menurun yang tercermin dari nilai tukar petani. Kesulitan ekonomi yang terus mendera petani, cepat dan pasti menjadikan profesi petani tidak menarik minat petani, apalagi generasi muda yang terbuka akses teknologi dan informasinya. Secara praktikal, biasanya petani menjual sawahnya untuk beralih profesi sebagai pedagang, yang bisa menghasilkan pendapatan harian dibandingkan petani padi yang menghasilkan dalam 3,5 bulan sekali. Itupun dengan harga saat panen raya sering kurang berpihak kepada petani. Undang-Undang No 41/2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan, terbukti tidak effektif mengendalikan alih fungsi lahan. Apalagi dengan adanya pembangunan tol yang massif membelah Pulau Jawa, alih fungsi lahan secara praktis mengalami akselerasi. Rusaknya jaringan infrastruktur irigasi, pertumbuhan industri yang sangat dahsyat, sehingga memicu kompetisi penggunaan air antar sektor pertanian versus kebutuhan air domestik, municipal dan industri. Kita bisa menebak siapa yang keluar sebagai pemenang dan siapa yang jadi pecundangnya. Jika pemerintah membiarkan terus Undang-Undang alih fungsi lahan ini terus begini, maka dalam 50 tahun ke depan, sawah produktif di Jawa akan tergerus oleh dinamika pertumbuhan kota dan industri. Ini adalah sebuah pilihan yang harus dipikirkan masak-masak dampak positif dan negatifnya. Argumennya, ketika pangan murah, kita bisa membeli, namun ketika pasokan pangan di pasar dunia menipis dan negara produsen pangan dunia melakukan pelarangan ekspor, lalu masyarakat Indonesia mendapatkan pangannya dari mana? Pemerintah dan DPR harus bersepakat untuk segera meredam bahkan menghentikan laju alih fungsi lahan sawah produktif apapun argumennya, agar tidak mewariskan masalah pangan bagi anak cucu. Jika laju alih fungsi lahan sawah tidak termitigasi dari sekarang, maka besaran alih fungsi lahan semakin besar lajunya, dan dipastikan rakyat kecil akan menjadi korbannya.
Oleh: Marwanti (PMPH Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)