Jl. AUP No. 3 Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12520,
Provinsi DKI Jakarta

(021) 7824 669

ID EN
Logo

Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan

7

PENGELOLAAN AIR DAN BAHAN ORGANIK LAHAN KERING

Potensi lahan kering nasional untuk pembangunan pertanian adalah kekuatan besar yang dimiliki Indonesia yang belum terkelola dengan optimal. Lahan kering terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, dengan keragaman jenis tanah, iklim menurut ruang (temporal) dan waktu (spasial). Artinya, a priori, semua tanaman tropis dan non tropis dapat dibudidayakan di lahan kering, dengan menyesuaikan kebutuhan tanamannya. Paling tidak ada dua prasyarat lahan kering dapat dikelola secara berkelanjutan untuk produksi pertanian utamanya tanaman pangan dan lebih spesifik lagi tanaman pangan semusim utamanya padi lahan kering. Pertama pengelolaan ketersediaan lengas tanah (soil moisture) sesuai kebutuhan tanaman, kedua produksi dan pengelolaan bahan organik in situ agar kandungan bahan organik dapat dipertahankan diatas 3%.


Pengelolaan Ketersediaan Lengas tanah

Sumber air untuk produksi pertanian lahan kering satu-satunya adalah air hujan, sehingga budidaya lahan kering berkelanjutan dapat dilakukan jika air hujan yang terdistribusi 3 sampai 7 bulan per tahun dapat ditampung dan didistribusikan lebih luas lagi, sehingga ketersediaan lengas tanah menjadi lebih lama. Cara praktis yang dapat dilakukan petani dengan membangun rorak lubang kecil berukuran 50x50x50 cm untuk menampung air agar tanah tetap lembab. Selain menampung air, rorak juga berperan untuk menurunkan laju aliran permukaan (run off) dan laju erosi (erosion rate) sehingga laju penurunan lapisan olah tanah permukaan (top soil) yang sangat subur termitigasi. Beberapa wilayah yang tersedia alur sungai, dapat dikembangkan dam parit (channel reservoir) yang dapat menampung aliran air di musim penghujan untuk digunakan pada musim kemarau. Beberapa petani yang kreatif, air tampungan di dam parit banyak digunakan untuk pengembangan perikanan darat. Pengembangan lebih jauh, agar air hujan tidak mengalir ke sungai utama menuju ke laut, maka di bawah dam parit dapat dikembangkan dam parit lainnya sehingga menyerupai teras sawah bertingkat, sehingga praktis air hujan dapat ditampung di dalam dam parit. Secara operasional, pendekatan ini dilakukan dalam manajemen aliran permukaan dan sedimen waduk. Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Juanda adalah contoh konkrit pembanguan Dam Parit bertingkat skala luas. Jika semua petani lahan kering dapat mengelola airnya secara berkelanjutan, maka masalah kekeringan a priori dapat diselesaikan. Argumennya, curah hujan Indonesia umumnya lebih dari 1.500 mm per tahun. Artinya jika durasi musim hujan 4 bulan dapat ditampung dan didistribusikan pada bulan ke-5 dan ke-6, maka masa tanam bisa bertambah dari empat ke enam bulan dalam setahun. Implikasinya budidaya tanaman pangan bisa dilakukan dua kali setahun. Pendekatan ini dengan asumsi bahwa padi lahan kering bukan digenangi tetapi cukup lembab saja, sehingga penggunaan air untuk budidaya padi lahan kering lebih effisien dan produktif. Kelembaban tanah yang terkelola dengan baik (well maintain) akan menyebabkan akar mendapatkan porsi lengas tanah dan udara secara ideal, dibandingkan padi irigasi yang digenang. Jika sistem produksi padi lahan kering dikelola lengas tanahnya secara tepat dengan asupan pupuk sesuai kebutuhan, maka dipastikan produksi padi lahan kering lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Keyakinan itu didasari fakta bahwa pada lahan hutan yang selesai dibuka dan dibudidayakan padi lahan kering di musim hujan, hasilnya jauh lebih tinggi dibandingkan produksi lahan sawah. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengelola agar lengas tanah lahan kering terkendali? Menjaga kandungan bahan organik tanah tetap tinggi merupakan jawabannya.

  

Produksi dan Pengelolaan Bahan Organik in situ

Kandungan bahan organik lahan kering yang cepat menurun akibat dekomposisi dan mineralisasi, menyebabkan kandungan bahan organik lahan kering sangat rendah. Implikasinya, struktur tanahnya mudah pecah, kemampuan mengikat air rendah dan tanaman rentan kekeringan dan suplai hara sangat rendah. Produksi bahan organik in situ dapat diwujudkan melalui dua acara: (a) mengintegrasikan ternak untuk produksi bahan organik dan diversifikasi pendapatan (b) memproduksi bahan organik di lapangan sebagai sumber pupuk dan mulsa. Mengapa in situ, selain tidak memerlukan ongkos angkut (bahan organik itu voluminous/memakan tempat) juga dimaksudkan agar menjadi bagian sistem yang utuh dari pengelolaan lahan kering berkelanjutan.

Ternak kecil (domba) maupun ternak ruminansia besar (sapi atau kerbau) sangat ideal untuk memperkuat ketahanan lahan kering nasional. Selain berfungsi menghasilkan bahan organik, sebagai tenaga kerja untuk membajak, juga berperan untuk mendiversifikasi sumber pendapatan petani untuk keluar dari perangkap petani gurem (subsisten). Produksi bahan organik in situ juga dapat dilakukan melalui pengembangan alley cropping yaitu dengan menanam tanaman perdu melintang memotong kontur tanah untuk produksi bahan organik, menurunkan kecepatan aliran permukaan dan laju erosi. Tanaman seperti Flemingia congesta dapat dianjurkan, karena selain tahan tanah masam dan kurang air, juga akar tanaman Flemingia congesta juga dapat memompa hara dari dalam tanah untuk menghasilkan daun yang dipangkas reguler sebagai sumber mulsa, bahan organik. Penggunaan tanaman koro benguk (Mucuna sp.) juga sangat direkomendasikan, karena tanaman ini tumbuh subur dalam kondisi tanah kering dengan produksi bio masa sangat tinggi. Selain itu, koro benguk juga dapat diolah menjadi tempe sebagai sumber protein tambahan petani. Cara praktis pengelolaan bahan organik in situ banyak diterapkan oleh perkebunan besar di lahan kering masam dengan mengembangkan tanaman penutup tanah seperti Calopogonium mucunoides, Centrocema pubescens, Arachide pintui dan tanaman kacang-kacangan lainnya. Lahan kering yang tertutup tanam penutup (cover crops) sepanjang tahun akan terkelola ketersediaan lengas tanah dan produksi bahan organik sebagai sumber hara tanaman padi lahan kering  secara berkelanjutan. Jika petani mampu memelihara dua kondisi tersebut yaitu lengas tanah (soil moisture) dan kandungan bahan organik di atas 3%, maka produksi tanaman padi lahan kering nasional akan dapat digenjot secara signifikan dan berkelanjutan.  Budidaya karet dan kelapa sawit yang berkelanjutan di lahan kering masam dengan tanaman penutup tanah permanen (permanent cover crops) terbukti mampu menggenjot produksi kelapa sawit dan karet nasional secara signifikan dan berkelanjutan, sehingga Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Teladan nyata di depan mata dari budidaya tanaman perkebunan, mengapa tidak diadopsi pada budidaya pertanian tanaman pangan di lahan kering?

Oleh: Marwanti (PMPH Ahli Muda, Ditjen Tanaman Pangan)


WhatsApp


Email


Jam Pelayanan

Hari Kerja
08:00 s/d 16:00